Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina kembali menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi. Per 24 Maret 2018, harga Pertalite dan solar non-subsidi naik masing-masing Rp 200 per liter. Bulan lalu, Pertamina sudah lebih dulu menaikkan harga jual BBM yang masuk seri Pertamax.
Usai kenaikan itu, harga solar non-subsidi di Jakarta naik menjadi Rp 7.700 per liter dari sebelumnya Rp 7.500 per liter. Sementara harga Pertalite naik menjadi Rp 7.800 per liter. Sebelumnya harga Pertalite hanya Rp 7.600 per liter.
Sejak Januari 2018, Pertamina telah menaikkan harga Pertalite sebanyak dua kali. Pada 13 Januari 2018, harga Pertalite di level Rp 7.500 per liter. Kemudian pada 20 Januari 2018, Pertamina menaikkan harga Pertalite sebesar Rp 100 per liter menjadi Rp 7.600 per liter. Alhasil, kenaikan harga pada Maret 2018 ini merupakan kenaikan yang kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir.
Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito menyatakan, kenaikan harga bahan bakar minyak ini merupakan penyesuaian atas kenaikan harga minyak dunia. Saat ini harga minyak dunia sudah tembus sekitar US$ 60 per barel. Alhasil, Pertamina mengikutinya dengan menaikkan harga BBM non-subsidi.
Adiatma membantah kenaikan harga Pertalite bertujuan demi menutup potensi kerugian Pertamina akibat menanggung selisih harga solar subsidi dan premium. Sebab, pemerintah melarang Pertamina menaikkan harga premium dan dan solar subsidi.
Menurutnya, perhitungan BBM penugasan seperti premium ataupun solar subsidi berbeda dengan perhitungan BBM umum seperti Pertamax series dan Pertalite. "Menghitungnya tidak menyilang begitu," tandas Adiatma kepada KONTAN, Minggu (25/3).
Namun di tidak mau menjelaskan lebih jauh mengenai perhitungan dan formula harga BBM subsidi dan BBM non-subsidi. Dia juga menolak mengungkapkan proyeksi pendapatan Pertamina akibat regulasi harga BBM.
Namun, sepanjang Januari-Februari 2018, Pertamina mengakui potensi kerugian sebesar Rp 3,9 triliun akibat menanggung selisih harga solar subsidi dan harga premium. Hingga akhir tahun, Pertamina memproyeksikan potensi kerugiannya mencapai sekitar Rp 24 triliun.
Kompensasi Mahakam
Meski begitu, pemerintah menolak dianggap sebagai penyebab potensi kerugian Pertamina. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM sekaligus Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Ego Syahrial menyatakan, pemerintah tidak membiarkan Pertamina rugi.
Pemerintah bahkan mempunyai sejumlah rencana untuk membantu keuangan Pertamina. Salah satu caranya adalah dengan memberikan hak pengelolaan Blok Mahakam ke Pertamina.
Ego menyatakan, keuntungan yang bisa didapat Pertamina dari Blok Mahakam termasuk besar. "Keuntungannya Rp 7 triliun. Itu sudah bersih," tandas Ego Syahrial.
Oleh karena itu, dia berharap, potensi kerugian yang akan ditanggung Pertamina merupakan efek dari regulasi pemerintah dalam tata niaga BBM subsidi. Lagi pula, "Pemerintah punya banyak untuk Pertamina," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News