Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kunjungan ke Kepulauan Bangka Belitung ternyata membawa kesan tersendiri. Di mana, perjalanan saya ke Dermaga Mantung, Pelabuhan Mantung, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, akhir Agustus lalu menjadi memori tak terlupakan.
Jika pada umumnya medan yang harus dilalui untuk mendatangi lokasi fisik atau area operasional tambang adalah melalui jalur darat karena mayoritas tambang berada di darat, kali ini, saya berkesempatan mengunjungi tambang timah yang berada di tengah laut. Asal tahu saja, tambang itu dikelilingi arus cukup kuat dari Laut Natuna dan Samudra Pasifik.
Berbeda dengan komoditas lainnya, seperti batubara dan nikel, yang mayoritas memiliki tambang di daratan, timah di Indonesia ternyata memiliki lahan tambang dan potensi yang cukup besar di lautan atau tambang offshore.
Sebagai pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) timah terbesar di Indonesia, anggota holding pertambangan, PT Mineral Industri Indonesia (Persero) atau MIND ID, PT Timah Tbk (TINS) telah jauh lebih dulu membaca potensi dari pertambangan bawah laut.
Asal tahu saja, luas IUP PT Timah Tbk yang tercatat saat ini adalah sekitar 472.912 hektare, yang terbagi menjadi 288.638 hektare di darat dan 184.274 hektare di laut.
Untuk menggali potensi ini, Direktur Pengembangan Usaha Timah Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara mengatakan, timah akan melanjutkan penambangan yang berasal dari pengendapan timah aluvial, meski terdapat potensi penurunan produksi.
Baca Juga: Cegah Tambang Ilegal, Timah (TINS) Bakal Atur Ulang Ketentuan dengan Mitra
Endapan timah di laut ini biasanya terdapat pada lapisan pasir pembawa timah (kaksa) berupa bahan lepas, yang berada di area lautan.
Meski begitu, tambang di area daratan atau penambangan timah primer yang berada di daerah tambang darat akan tetap dimaksimalkan.
Untuk pengembangan ini, Suhendra mengatakan Timah telah memetakan beberapa lokasi tambang primer yang berpotensi dengan jumlah cadangan tinggi.
Utamanya adalah lokasi tambang di Desa Paku, Kecamatan Payung, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Selatan serta daerah tambang primer Batu Besi di Kabupaten Belitung Timur.
“Kita ada di tambang Paku di lokasinya di Paku, kemudian di Batu Besi di Belitung, dan ada di beberapa tempat lagi, tapi yang menjadi perhatian kami saat ini adalah untuk mengembangkan di dua lokasi ini. Tapi ada beberapa lokasi, kalau tidak salah 4-5 (lokasi pengembangan tambang primer)” ungkap Suhendra dalam agenda temu media beberapa waktu lalu.
Kembali pada tambang perairan, TINS menggunakan peralatan berbeda dari tambang mereka di daratan. Timah menggunakan peralatan utama berupa kapal isap produksi (KIP) dan kapal keruk (dredger), seperti bucket line dredger.
Di laut, KIP berfungsi untuk menyedot endapan timah dari dasar hingga kedalaman tertentu, sementara kapal keruk digunakan untuk menggali material timah dari bawah permukaan laut, terutama untuk mencapai cadangan yang lebih dalam.
Baca Juga: Dapat Perhatian dari Prabowo, Timah (TINS) Kebut Pengembangan Logam Tanah Jarang
KIP lebih lanjut akan berputar pada titik yang telah ditentukan untuk menyedot endapan aluvial dalam waktu tertentu. Kemudian endapan akan diangkat ke atas kapal dan dipisahkan dari tanah dan pasir sampai mendapatkan timah yang diinginkan.
Usai memisahkan antara timah dan endapan yang tidak dibutuhkan, timah dalam bentuk basah akan dikirim ke Smelter Top Submerge Lance (TSL) Ausmelt yang terletak di Kawasan Unit Metalurgi Muntok, Bangka Barat.
Untuk diketahui, smelter TSL Ausmelt yang diresmikan pada November 2022 lalu, menjadi satu-satunya smelter pemurnian timah yang dapat mengelola timah berkadar rendah di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Keunggulan lain dari smelter TSL Ausmelt adalah kapasitasnya yang besar, dibandingkan dengan smelter teknologi smelter yang digunakan TINS sebelumnya, yaitu tanur reverberatory furnance .
“Memang untuk smelter atau smelter Ausmelt kita itu dari sisi kapasitas produksinya masih cukup besar, tapi dari sisi supply, kita kasih itu masih kurang, itu saja, padahal kapasitasnya besar sekali,” ungkap Suhendra.
Dari dua jenis tambang yang dimilikinya, tahun ini, TINS menargetkan produksi bijih timah sebesar 21.500 ton Sn, produksi logam timah 21.545 metrik ton, dan penjualan logam timah sebesar 19.065 metrik ton.
LTJ - Bagian dari Timah yang Tidak Dapat Dipisahkan
Timah akhir-akhir ini menjadi sorotan, khususnya oleh orang nomor satu di Indonesia, Presiden Prabowo Subianto.
Bukan hanya hasil tambang timah-nya, namun hasil sampingan dari penambangan timah yaitu Logam Tanah Jarang (LTJ) atau rare earth yang dapat digunakan di berbagai sektor industri termasuk industri pembuatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) karena perannya yang vital dalam teknologi modern.
Keseriusan Presiden Prabowo untuk mengelola LTJ juga terlihat dari disahkannya Badan Industri Mineral pada 25 Agustus 2025 yang berfungsi untuk melindungi dan mengelola mineral strategis (LTJ dan mineral radioaktif) untuk mendukung industri pertahanan dan kemandirian bangsa.
Dalam catatan terbaru Kontan, Presiden Prabowo bahkan telah mengamanatkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membentuk Joint Ore Reserves Committee (JORC) untuk menghitung cadangan mineral, termasuk timah di Indonesia.
"Pak Presiden memerintahkan kepada kami untuk segera melakukan JORC terhadap seluruh cadangan kita," kata Bahlil, usai rapat bersama Presiden Prabowo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (9/9/2025).
Baca Juga: PT Timah (TINS) Berjibaku dengan Tambang Ilegal, Disharmoni Harga Timah Jadi Penyebab
Sebelumnya, Suhendra juga sempat mengatakan bahwa Direktur Utama Timah Restu Widiyantoro sempat dipanggil oleh Presiden Prabowo pada agenda rapat terbatas dengan menteri-menteri di Hambalang, beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Prabowo meminta agar Indonesia fokus mengolah LTJ yang bersumber dari timah.
“Pengembangan usaha ini akan berbasis pada riset, seperti REE atau logam tanah jarang, orientasi kita juga ke sana. Saat ini Timah memang fokus pada pertambangan timah, tapi sebenarnya mineral ikutannya belum dioptimasi untuk diproduksi,” jelasnya
Agar lebih memahami peran dan potensi LTJ bersumber dari timah yang saat ini banyak diperebutkan oleh banyak negara adidaya, saya mewawancarai Muhammad Wafid selaku Ketua Badan Geologi ESDM.
Dia menjabarkan berdasarkan data Badan Geologi, LTJ yang terdiri dari 17 unsur yaitu 15 unsur dari grup lantanida yaitu La, Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm, Yb, Lu, ditambah Y(Yttrium) dan Sc (Scandium), semuanya memiliki kesamaan sifat kimia, sehingga keberadaannya biasanya didapat secara bersama dalam suatu mineral pembawa LTJ.
"Di Indonesia, di atas ini (LTJ) semua ditemukan. Namun yang banyak ditemukan Nd, Pr, La, Ce, Sm, Y, Sc, Er dan Y, mineral pembawa LTJ yang sudah terkonfirmasi di antaranya adalah Monasit dan Xenotim dari pertambangan timah," ungkap Wafid kepada Kontan.
Baca Juga: Timah (TINS) Ungkap Perubahan RKAB Jadi 1 Tahun Berdampak Positif Bagi Kinerja
Unsur LTJ didalam mineral Monasit didominasi La(lanthanum), Ce (Cerium), Nd (Neobdium); sedangkan unsur LTJ didalam mineral Xenotim yang khas adalah kandungan logam Y (Yttrium).
Tren permintaan LTJ ungkap dia didominasi oleh magnet permanen dan katalis dengan jumlah lebih dari 60% dari total konsumsi global. Namun secara nilai nominal, magnet permanen berkontribusi lebih dari 90% dari keseluruhan nilai LTJ dunia.
Secara garis besar berikut adalah fungsi mineral pembawa LTJ yang berasal dari pertambangan timah:
A. Lanthanum (La)
- Digunakan dalam lensa kamera, baterai mobil hybrid/rechargeable, katalis untuk pemurnian minyak, kaca dengan indeks bias tinggi, lampu ataupun busi dan alat pemanasan arc.
B. Cerium (Ce)
- Untuk katalis konverter otomotif, pemoles kaca (glass polishing), penyaring radiasi, air purifier, serta sebagai aditif cat dan bahan bakar.
C. Neodymium (Nd)
- Digunakan dalam magnet permanen (seperti di motor EV dan turbin angin), laser, kapasitor, filter TV, serta fiber optik.
D. Yttrium (Y)
- Digunakan dalam produksi fosfor merah pada televisi dan lampu LED.
Lebih lanjut, Wafid mengakui bahwa di Indonesia saat ini terdapat potensi tinggi pada LTJ yang berasal dari pertambangan timah.
"Dari berbagai komoditas tambang utama yang ada di Indonesia, timah, khususnya dari endapan plaser, merupakan salah satu sumber LTJ yang cukup signifikan," ungkap Wafid.
"Untuk pengembangan Indonesia sebenarnya BRIN dan PT. Timah mempunyai Teknologi yang sudah diuji (Pilot Plant)," tambahnya.
Pada laporan April 2025, Timah memang tercatat sudah mampu mengolah monasit, sebagai mineal ikutan timah, dan tinggal membangun skala industri sesuai potensi yang ada.
Baca Juga: Aluvial Menipis, Timah (TINS) Bakal Kembangkan Tambang Timah Primer di Tahun Depan
Kedepannya, TINS juga berencana untuk membangun pabrik pengolahan LTJ skala komersial dengan bahan baku dari monasit serta meningkatkan kolaborasi strategis dengan mitra teknologi untuk percepatan penguasaan teknologi dan pengolahan.
Potensi LTJ atau rare earth mulai naik daun saat Amerika Serikat mengajukan tarif resiprokal kepada sejumlah negara termasuk China. Sebagai balasan, negara penguasa 60% LTJ dunia itu melakukan embargo ekspor rare earth-nya ke AS.
Melihat pentingnya LTJ dalam industri dalam negeri, AS mencoba mencari peruntungan lain dengan berusaha menjalin kerjasama LTJ dengan negara selain China. AS bahkan telah menyatakan minat dan meminta Indonesia untuk menyuplai LTJ ke negara mereka.
Sebagai negara dengan anugrah tuhan yang berlimpah rasanya sangat wajar jika Indonesia fokus pada terlebih dahulu untuk penggunaan LTJ di dalam negeri. Dan salah satu yang telah terbukti, melalui pertambangan timah.
Selanjutnya: Sedang Viral, Ini 4 Manfaat Hypochlorous Acid untuk Wajah
Menarik Dibaca: Sedang Viral, Ini 4 Manfaat Hypochlorous Acid untuk Wajah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News