kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tolak Kenaikan, Kadin dan pelaku industri mendesak harga gas menjadi US$ 6 per MMBTU


Rabu, 25 September 2019 / 16:39 WIB
Tolak Kenaikan, Kadin dan pelaku industri mendesak harga gas menjadi US$ 6 per MMBTU
ILUSTRASI. PENYALURAN GAS UNTUK INDUSTRI


Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak kenaikan harga gas yang rencananya akan dinaikkan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) mulai 1 Oktober 2019 mendatang.

Sebagai bentuk penolakan, Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Achmad Widjaja mengungkapkan, pelaku industri sepakat untuk tetap menggunakan harga lama, seandainya PGN masih akan tetap menaikkan harga.

"Kita minta kalau nanti terjadi kenaikan harga, kita tidak akan bayar kenaikannya. Harga lama tetap kita pegang," kata Achmad selepas Focus Group Discussion (FGD) terkait penerapan harga gas bumi untuk industri yang digelar di Kantor Kadin, Rabu (25/9).

Baca Juga: JP Morgan beri rekomendasi overweight untuk saham Perusahaan Gas Negara (PGAS)

Menurut Achmad, hal tersebut tidak melanggar kontrak antara PGN dan pelaku usaha. Sebab, ia menyebut rerata kontrak pembelian gas berlangsung 5 tahun dan bisa direvisi setiap dua tahun sekali. "Jadi nggak (melanggar), kalau jadi naikkan, berarti juga kan harus revisi kontrak," imbuhnya.

Achmad bilang, rencana kenaikan harga berkisar 12% hingga 15%. Dengan rata-rata harga gas untuk industri yang saat ini berada di angka US$ 9 per MMBTU, maka kenaikan tersebut akan sangat memberatkan bagi pelaku industri.

Ia menerangkan, gas berkontribusi signifikan terhadap biaya produksi di sektor industri. Untuk industri yang menggunakan gas sebagai energi, rerata kontribusi gas mencapai 30%-40%. Untuk industri yang menjadikan gas sebagai energi pendukung, porsi gas terhadap biaya produksi sekitar 8%-12%.

Baca Juga: Ini rekomendasi MNC Sekuritas untuk saham PGAS, ANTM, PTPP, dan BNLI

Sedangkan untuk gas dipakai untuk menjadi bagian dari bahan baku, itu sekitar 60%-70%. "Jadi itu signifikan sekali, kalau memang (harga gas) bergerak US$ 0,1 saja, itu udah berdampak," terangnya.

Adapun, untuk harga ideal yang diharapkan pelaku usaha, Achmad menyatakan bahwa harga yang sudah dirujuk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, yaitu sebesar US$ 6 per MMBTU.

Oleh sebab itu, selain bersepakat untuk menolak kenaikan harga gas, Kadin dan pelaku industri juga mendesak agar harga di dalam Perpres tersebut bisa diimplementasikan. "Harga (US$ 6 per MMBTU) itu sudah ideal menurut kita). Perpres itu sudah sejak 2016 harusnya sudah diterapkan," terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Johnny Darmawan mengatakan setelah 3 tahun Perpres tersebut terbit, harga jual gas industri masih tetap tinggi lantaran beleid itu belum diimplementasikan. Perpres Nomor 40/2016 itu mengatur agar harga gas bagi tujuh sektor industri ditetapkan menjadi US$ 6 per MMBTU.

Baca Juga: PGN kembali gelar kompetisi jurnalistik 2019, PGN: Dorong kualitas produk pers

Ketujuh sektor industri tersebut adalah industri pupuk, petrokimia, oleochemical, industri baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. "Tapi sampai saat ini beleid tersebut hanya diimplementasikan pada perusahaan BUMN sektor industri pupuk, baja dan pupuk majemuk," jelasnya.

Johnny bilang, persaingan dan daya saing industri semakin ketat, sementara sektor industri telah terbebani dengan biaya investasi yang besar. "Ini ditambah lagi dengan harga gas. Padahal, apabila pasokan gas dalam negeri berdaya saing maka sektor industri manufaktur diharapkan akan tumbuh 6%-7%," terang Johnny.

Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, pihaknya mendukung agar harga gas bisa diturunkan. Menurutnya, penurunan harga gas akan meningkatkan daya saing industri dan menambah pendapatan negara.

Baca Juga: Penggunaan BBM turun, PLN raih laba bersih Rp 7,35 triliun di semester I-2019

"Semakin kita turunkan harga gas, semakin besar keuntungan negara. Bukan rugi, tapi untung," sebutnya.

Sigit memberikan gambaran, setiap harga gas diturunkan US$ 1 per MMBTU, maka secara agregat pendapatan negara bisa bertambah hingga Rp 21 triliun. "Kalau kita misalkan harga gas turun dari US$ 7 ke US$ 6 per MMBTU, secara agregat nasional kita untung Rp 21 triliun. Begitu juga sebaliknya," jelas Sigit.

Hanya saja, Sigit mengatakan bahwa pengimplementasian beleid soal harga gas itu tidak menjadi kewenangan dari Kemenperin. "Itu silahkan tanya ke (Kementerian) ESDM," sebutnya.

Sayangnya, FGD tersebut tidak dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian ESDM dan PGN. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto tak memenuhi undangan dan tidak ada perwakilan yang datang.

Hingga tulisan ini dibuat, Kontan.co.id telah berupaya untuk meminta tanggapan dari pihak PGN. Hanya saja, PGN masih belum memberikan tanggapan.

Baca Juga: ILC: Pemakaian BBM bersubsidi harus tepat sasaran

Asal tahu saja, FGD tersebut menghasilkan lima poin kesepakatan. Yakni: Pertama, implementasi Perpres Nomor 40/2016 tetap harus dijalankan. Kedua, pelaku industri menuntut harga fix untuk industri di plant gate sebesar US$ 6 per MMBTU.

Ketiga, karena kondisi supply di Jawa Barat mengalami penurunan setiap tahunnya, maka pipa South Sumatra-West Java (SSWJ) harus menjadi pipa open access untuk membawa gas dari Sumatera Selatan ke Jawa Barat, serta perlu dilakukan review oleh BPH Migas.

Keempat, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harus mencari investor untuk investasi terhadap receiving terminal dan vessel untuk pengangkutan LNG dari lokasi supply sampai ke titik serah.

Baca Juga: Pertamina EP Cepu klaim hemat Rp 12,4 miliar pasca tuntaskan turn around CPP Gundih

Kelima, apabila ada kenaikan harga gas dari PGN yang dipaksakan kepada pelaku industri, maka seluruh pelaku industry sepakat untuk tidak akan membayar selisih dari harga lama terhadap kenaikannya.

Achmad Widjaja menegaskan, pihaknya akan membawa persoalan mengenai harga gas ini ke Presiden Joko Widodo untuk dilakukan pembahasan. "Kita akan bawa ini sampai ke Presiden. Tanggal 10 Oktober rencananya kita minta jadwal Presiden," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×