Reporter: Abdul Basith, Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serangan terhadap produk minyak kelapa sawit semakin gencar. Apalagi Parlemen Uni Eropa (UE) menyetujui proposal Renewable Energy Directirve (RED) II yang menolak biodiesel dari minyak sawit sebagai bahan baku energi terbarukan. Kebijakan ini akan membuat produk biodiesel asal Indonesia tidak diterima di UE.
Padahal, tanpa ada kebijakan itu saja, ekspor biodiesel Indonesia telah menurun tajam. Berdasarkan data Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor biodiesel ke Uni Eropa turun drastis dari US$ 635 juta pada 2013 menjadi US$ 9 juta pada 2016.
Penurunan ini terjadi karena UE menciptakan hambatan perdagangan dengan menerapkan pajak impor yang tinggi seiring dengan adanya tuduhan dumping atas impor biodiesel Indonesia. Atas tuduhan itu, UE menerapkan bea masuk anti dumping (GMAD) sebesar yakni 8,8% sampai 23,3% atau setara €76,94 hingga €178,85 per ton.
Direktur Pengamanan Perdagangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemdag) Pradnyawati mengatakan, Pemerintah Indonesia akan menanggapi serius kebijakan UE tersebut. "Pemerintah akan terus memonitor perkembangan keputusan trilogue meeting yang merupakan tahap akhir penetapan RED II," ujarnya kepada KONTAN, akhir pekan lalu.
Menurutnya keputusan parlemen UE masih merupakan putusan awal dari pengesahan proposal RED II. Sementara trilogue meeting yang merupakan tahap akhir, akan berupa keputusan yang dibuat antara Parlemen Eropa, Komisi Eropa, dan Dewan Eropa.
Pradnyawati memastikan Pemerintah Indonesia akan berupaya melawan keputusan tersebut. Untuk itu Kemdag akan melakukan koordinasi dengan negara produsen kelapa sawit lain seperti Malaysia untuk melakukan langkah bersama untuk menolak keputusan tersebut.
Salah satu langkah yang akan dilakukan adalah mengirimkan surat keberatan terhadap resolusi Parlemen Eropa. Selain itu, Indonesia juga mempertimbangkan pelaporan kasus ini ke organisasi perdagangan dunia (WTO). "Usulan Parlemen Eropa diskriminatif, bias dan tidak adil," katanya.
Selain perlawanan, Direktur Eksekutif Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Iskandar Andi Nuhung berharap pemerintah juga mengembangkan industri hilir minyak sawit. Hal itu mendesak agar lebih banyak produk sawit yang terserap pasar domestik. Hal itu akan membuat ketergantungan akan pasar ekspor berkurang.
Apalagi jika kemudian Indonesia menerapkan kebijakan biodiesel 20% atau B20. Kebijakan ini akan dapat meningkatkan penyerapan minyak sawit di dalam negeri. "Saat ini memang belum efektif, karena belum banyak digunakan," ujarnya.
Bantah subsidi biodiesel
Dono Boestami, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), membantah bahwa dana yang diterima pelbagai perusahaan dari BPDPKS adalah subsidi pemerintah kepada perusahaan. Sebab menurutnya, penerima keuntungan dari kebijakan itu adalah masyarakat. "Yang mendapat keuntungan adalah masyarakat karena biodiesel dibeli oleh PLN dari Pertamina dan PT AKR (Corporindo Tbk), ujarnya.
Seperti diketahui sejak 2015, perusahaan yang melakukan ekspor CPO wajib menyetorkan pungutan ke pemerintah sebesar US$50 per ton. Dana ini kemudian dikelola BPDPKS. Sesuai UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dana akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan. Pada November 2017–April 2018, BPDPKS harus mengalirkan dana Rp 5,7 triliun ke 11 produsen biodiesel dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News