kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Upaya Mengembangkan Komoditas Perkebunan Sebagai Andalan Ekspor Indonesia


Minggu, 19 Desember 2021 / 22:00 WIB
Upaya Mengembangkan Komoditas Perkebunan Sebagai Andalan Ekspor Indonesia
ILUSTRASI. Plt Dirjen Perkebunan Kementan Ali Jamil


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Perkebunan merupakan penyumbang utama devisa sektor pertanian. Tahun 2020 ekspor pertanian mencapai Rp 451,8 triliun. Penyumbang terbesar adalah subsektor perkebunan yaitu 94%. Komoditasnya yang paling besar adalah kelapa sawit.

“Sebagai orang perkebunan kita bangga dengan capaian ini. Tidak ada yang tidak bangga dengan ekspor perkebunan. Tetapi di sisi lain harus berpikir keras lagi. Setelah sawit apa lagi yang harus didorong supaya bisa sehebat sawit. Apakah karet, kakao, kopi, kelapa ,” kata Plt Dirjen Perkebunan Kementan, Ali Jamil dalam keterangannya, akhir pekan lalu.

Sawit bisa seperti sekarang  bukan serta merta karena sudah dikembangkan secara komersial sejak tahun 1910, sudah 111 tahun. Lewat kebijakan pemerintah periode-periode sebelumya seperti kebijakan PBSN, PIR dan lain-lain generasi sekarang menikmati kejayaan sawit.

Komoditas perkebunan lain perlu didorong. Kakao misalnya dengan luas tanaman 1,5 juta Ha saat ini Indonesia produsen nomor 3 dunia. “Posisi nomor 3 dengan luas sebesar itu tidak membanggakan. Produktivitas kita masih jauh lebih rendah dibanding negara lain,” katanya.

Ali Jamil minta semua stake holder menyusun road map pengembangan komoditas perkebunan sehingga bisa menyamai kelapa sawit. Hal ini tidak bisa diserahkan begitu saja pada Kementan, perlu pemikiran dan masukan serta aksi dari komponen masyarakat lain.

Kelapa, misalnya sudah dari zaman dulu Indonesia adalah eksportir kopra. Demikian juga santan, tepung kelapa dan arang batok kelapa. Dengan luas 3,6 juta ha ternyata sekarang produktivitasnya semakin menurun. Ekspornya harus diubah bukan kopra dan kelapa bulat terus. Kementan sudah membina UKM pengolah kelapa dan saat ini mereka sudah mengekspor 12-15 produk kelapa. 

Salah satu faktor sawit menjadi besar adalah banyak perusahaan besar yang terlibat. Sedang di komoditas lain relatif tidak ada atau sedikit. Kalaupun ada yang besar tidak sebesar sawit. Sedang pembiayaan APBN jelas sangat tidak cukup untuk pengembangan  komoditas perkebunan non sawit.

“Pemerintah sudah punya program  KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk membiayai pertanian. Dari alokasi Rp70 triliun tahun ini realisasi Rp 83 triliun, perkebunan terbesar Rp 30 triliun. Saya minta semua stake holder untuk ikut serta supaya KUR ini semakin banyak diserap untuk meningkatkan produktivitas. Produktivitas kopi, kakao, kelapa masih menjadi tantangan untuk ditingkatkan,” katanya.

Ekspor tahun 2020 nilainya meningkat tetapi volumenya menurun. Artinya memang harga komoditas naik, tetapi ada masalah di produksi. “Untung harganya naik sehingga kita masih tertolong. Masih ada masalah produktivitas yang harus diselesaikan,” kata Ali lagi.

Adanya program Peremajaan Sawit Rakyat dengan dana BPDPKS memberi kemudahan petani untuk meremajakan kebunnya. Tetapi bukan sawit saja yang perlu peremajaan. Kelapa, kopi, kakao, karet juga perlu peremajaan. Harus dibuat cara yang memudahkan petani melakukan peremajaan.

Masih banyak potensi misalnya gula merah dan gula semut baik yang berasal dari kelapa atau aren permintaanya di Eropa dan Amerika unlimited. Tetapi siapa yang mau mengembangkan kelapa dan aren secara besar-besaran untuk diambil niranya. 

Lahan untuk pengembangan perkebunan masih banyak. Sampai tahun 2024 KLHk megalokasikan 12 juta ha untuk perhutanan sosial. Saat ini realisasi baru 5 juta ha. 

Memang tidak bisa untuk kelapa sawit tetapi bisa untuk kopi, kakao, kelapa, kemiri dan tanaman perkebunan lainnya. Masa berlaku 35 tahun dan setelah itu bisa diperpanjang.

Gamal Nasir, Pemimpin Umum Media Perkebunan menyatakan saat ini dengan Covid dunia masuk dalam ketidakpastian. Pasokan pupuk dunia berkurang karena negara produsen bahan baku mengurangi ekspor. Akibatnya harga pupuk global naik. Di Indonesia petani kelapa sawit paling merasakan dampaknya dan paling kencang berteriak. Petani harus disiapkan menghadapi situasi ini.

“Saat ini yang harus dilakukan adalah meningkatkan efisiensi di hulu dan meningkatkan hilirisasi. Seperti kata Wapres jangan selalu menjadi eksportir bahan mentah.” Kata Mantan Dirjen Perkebunan ini.

Pada kesempatan itu juga  Media Perkebunan memberikan  penghargaan kepada produsen dan penangkar benih yang diberikan langsung oleh Ali Jamil. Salah satunya adalah PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit) sebagai Produsen Benih Terbaik dan Pro Rakyat yang diterima oleh  Edwin Syahputra Lubis, Kepala PPKS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×