Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
Sahat turut menjelaskan, ketika minyak goreng langka sejak pertengahan Februari hingga awal Maret, ada kemungkinan praktik penimbunan dan penjualan minyak goreng di pasar gelap. Pasalnya, di periode tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebenarnya telah menggelontorkan 465.000 kiloliter minyak goreng murah selama 22 hari.
“Padahal, kebutuhan selama periode tersebut hanya sekitar 300.000 kiloliter. Setelah digelontorkan 465.000 kiloliter, ternyata masih kurang. Ini kemungkinan ada pasar gelap,” tukasnya.
GIMNI pun memberikan sejumlah usulan kepada pemerintah agar tidak lagi kecolongan oleh pihak-pihak yang melakukan penyalahgunaan produk minyak goreng, khususnya minyak goreng curah bersubsidi.
Misalnya, produsen dan distributor harus benar-benar diawasi ketat dan diidentifikasi secara detail terkait nama perusahaan dan manajemennya, lokasi kantor, cakupan pasar, data administrasi dan legal, dan lain-lain.
Baca Juga: Kebijakan HET Minyak Goreng Dicabut, Begini Tanggapan IKAPPI
Produsen dan distributor juga harus membuat perjanjian bahwa produk minyak goreng benar-benar disalurkan ke pasar dan bisa dibeli oleh masyarakat. Pemberian sanksi juga harus dilakukan apabila distribusi minyak goreng tidak tepat sasaran.
Pihak penjual minyak goreng di pasar modern dan tradisional juga harus menampilkan tanda harga minyak goreng secara jelas dan mudah dibaca oleh pelanggan untuk memastikan transparansi penyaluran produk tersebut.
Di samping itu, GIMNI juga berharap pihak BPDPKS bisa mengganti kelebihan biaya produksi pengusaha yang memproduksi minyak goreng bersubsidi dengan cepat. “Harga minyak goreng curah subsidi itu Rp 14.000 per liter, biaya produksi tentu di atas itu. Selisihnya ditutup oleh BPDPKS. Kalau tidak cepat diganti, produsen jadi kekurangan modal kerja,” pungkas Sahat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News