kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

UU Cipta Kerja jadi pedang bermata dua untuk perusahaan outsourcing


Rabu, 14 Oktober 2020 / 20:27 WIB
UU Cipta Kerja jadi pedang bermata dua untuk perusahaan outsourcing
ILUSTRASI. Pelatihan pekerja outsourcing


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) mengungkapkan, UU Cipta kerja atau Omnibus Law bisa memberikan efek positif dan negatif bagi perusahaan alih daya (outsourcing). 

Menurut Ketua Umum ABADI Mira Sonia, omnibus law akan menjadi katalis positif bagi perusahaan alih daya (outsourcing) karena bertambahnya peluang bidang-bidang yang ditangani oleh alih daya untuk labor supply

"Namun, di sisi lainnya, efek Omibus Law ini bisa juga negatif, karena dalam UU Cipta Kerja mengatur kesejahteraan tenaga alih daya menjadi tanggung jawab dari perusahaan outsourcing. Berarti para perusahaan klien outsourcing bisa menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada perusahaan alih daya, ini yang jadi masalah," jelas dia kepada Kontan.co.id, Rabu (14/10).  

Mira menambahkan, ketika hal ini terjadi, bisa menjadi celah terjadi pelanggaran yakni perusahaan pemberi kerja yang nakal menggunakan jasa perusahaan alih daya "abal-abal" untuk mengurangi hak pekerja. 

Baca Juga: Shield On Service (SOSS) optimistis UU Cipta Kerja jadi katalis positif ke kinerja

Saat ini pun masih melihat banyak perusahaan alih daya yang membayar karyawan di bawah UMP atau tidak peduli pada kesejahteraan karyawan semisal tidak dibayarkan BPJS-nya. 

Oleh karenanya, bagi perusahaan alih daya yang tidak sadar hukum, tidak berasosiasi, dan tidak jelas, akan semakin mudah mencari klien. Mira yakin klien yang "memang mau nakal" sekarang tersalurkan karena resiko tidak lagi berada di mereka, melainkan di perusahaan alih daya. 

Mira menyebut celah pelanggaran sebenarnya bukan dari peraturan tapi justru dari praktik di lapangan. Dari sejak awal UU 13/2003 mewajibkan perusahaan untuk memenuhi hak tenaga kerja tanpa memandang status tenaga kerja tersebut baik itu karyawan organik mau pun tenaga alih daya. Jadi isu mengenai pelanggaran ini bukan di pengaturan tapi penegakan nya. 

"Secara teori celah seharusnya semakin kecil karena Omnibus Law menegaskan perusahaan alih daya harus bertanggung jawab secara langsung. Namun sekali lagi, isu celah pelanggaran ini timbul justru karena penegakan hukum bukan pengaturannya," jelas dia.

Yang terang, Mira bilang bagi perusahaan alih daya di bawah ABADI, omnibus law membuatnya mereka menjadi makin taat dan hati-hati mematuhi regulasi karena resiko tenaga ahli daya adalah tanggung jawab perusahaan alih daya. 

Baca Juga: ISS sambut positif ketentuan perjanjian kerja perusahaan alih daya di UU Cipta Kerja

"Sehingga ketika setting harga dan kerja sama memang pada dasarnya untuk melindungi hak-hak pekerja," ujar dia.

Asal tahu saja, saat ini jumlah pekerja alih daya yang terdata dalam Forum Komunikasi Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (Fadi) mencapai 3 juta orang yang berada di bawah naungan 3.000 perusahaan outsourcing.

Selanjutnya: Sapu Jagat Ramah Investasi Meluncur, Investor Langsung Tergiur?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×