kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   -10.000   -0,51%
  • USD/IDR 16.830   0,00   0,00%
  • IDX 6.438   38,22   0,60%
  • KOMPAS100 926   8,20   0,89%
  • LQ45 723   5,45   0,76%
  • ISSI 205   2,17   1,07%
  • IDX30 376   1,61   0,43%
  • IDXHIDIV20 454   0,42   0,09%
  • IDX80 105   1,01   0,98%
  • IDXV30 111   0,45   0,40%
  • IDXQ30 123   0,28   0,22%

UU Nomor 3 Tahun 2020 jadi UU Minerba yang baru, sejumlah pihak siap gugat ke MK


Rabu, 17 Juni 2020 / 17:59 WIB
UU Nomor 3 Tahun 2020 jadi UU Minerba yang baru, sejumlah pihak siap gugat ke MK
ILUSTRASI. Pengolahan batubara asal Sumatera sebelum dikirim ke industri di penimbunan sementara Cilincing, Jakarta Utara (7/2). Produksi batubara Indonesia tahun 2011 lalu naik 34,4% menjadi 371 juta ton dari realisasi tahun 2010 sebesar 276 juta ton. Menurut Direk


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akhirnya merilis Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang baru. Yakni UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

UU Minerba baru itu disahkan, dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020. Kemudian diundangkan di hari yang sama oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Baca Juga: Kangen blusukan, Jokowi direncanakan kunjungi Jawa Tengah

Kontan.co.id sebelumnya memberitakan, sejumlah kalangan menyoroti dan menagih penerbitan UU Minerba baru yang sangat lambat. Padahal, beleid tersebut sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 12 Mei 2020 lalu.

Salah satu yang mengkritisi lambatnya penerbitan UU Minerba baru ini adalah Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi. Menurut Redi, maksimal 30 hari setelah perubahan UU itu disahkan DPR RI, UU Minerba baru itu harus sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Menurut Redi, proses penomoran undang-undang dan pengundangan dalam Lembaran Negara seharusnya dilakukan dengan cepat setalah naskah perubahan UU diteken Presiden. Selanjutnya, bisa langsung diterbitkan kepada publik.

Redi menekankan, penerbitan UU Minerba baru sangat lah penting. Sebab, Redi dan sejumlah koleganya akan mengajukan uji formil untuk menggugat UU Minerba baru itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga: Banyak yang menunggu, ternyata UU Minerba sudah diteken Jokowi pada 10 Juni 2020

"Ada persoalan waktu yang tidak bisa ditunda-tunda karena menyangkut hak uji formil ke MK dibatasi waktu 45 hari. Jangan sampai hak warga negara terhambat," ujar Redi kepada Kontan.co.id, Selasa (16/6) kemarin.

Tak hanya Redi, hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar. Dia menyesalkan Sekretariat Negara maupun Kemenkum-HAM tidak segera menerbitkan UU Minerba baru kepada publik.

Bisman menyatakan, Pushep juga akan turut andil dalam gugatan ke MK. Saat ini, Pushep tergabung dalam Koalisi Kedaulatan Minerba, yang terdiri dari sejumlah lembaga dan tokoh pertambangan.

"Langkah dan strategi untuk maju ke MK dibahas secara intens dalam koalisi tersebut. Prinsipnya, saat ini kami sedang mengkaji dan melengkapi data-data yang diperlukan," tuturnya.

Baca Juga: Sekretariat Negara: UU Minerba sudah diteken Presiden Jokowi pada 10 Juni 2020

Tak hanya Redi dan Bisman, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS), Budi Santoso pun bakal ikut mengajukan judicial review (JR) ke MK. "Kami mempersiapkan untuk tetap melakukan JR UU Minerba," kata Budi.

UU No. 3 tahun 2020 ini memang kontroversial. Sebagai rezim baru pertambangan minerba, UU ini dinilai bermasalah dan ditentang banyak kalangan. Sejumlah kalangan menilai UU Minerba baru ini cacat secara prosedural maupun substansi.

Selain dari Ahmad Redi, Pushep dan Ciruss, Kontan.co.id pernah memberitakan bahwa penolakan juga datang dari koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia. Manajer Advokasi dan Program Pengembangan Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho menyoroti sidang-sidang dalam Komisi VII DPR yang dinilai tertutup, termasuk dalam proses pembahasan revisi UU Minerba yang minim pelibatan publik.

Secara substansi, Aryanto antara lain menyoroti terkait dengan luasan wilayah pertambangan dan jaminan perpanjangan izin operasi pertambangan. Juga sentralisasi kewenangan perizinan yang diambil pemerintah pusat.

Baca Juga: Pemerintah minta tunda pembahasan RUU HIP, ini alasannya

Arip Yogiawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahkan menilai bahwa penyusunan dan pengesahan revisi UU Minerba merupakan proses legislasi terburuk dalam lima tahun terakhir. Ia pun menyerukan partisipasi elemen masyarakat dalam advokasi untuk menggugat revisi UU Minerba baik secara proses hukum maupun politik.

"Judicial review harus lebih bermakna, dengan melakukan konsolidasi rakyat. Kita harus menjadi antitesis dari DPR yang tidak partisipatif. Ini proses terburuk dalam pembuatan legislasi," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×