Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Pemerintah menyiapkan vaksin untuk menangkal virus baru flu burung yang menjangkiti ratusan ribu itik di beberapa daerah di Indonesia. Vaksin tersebut diharapkan sudah diproduksi pada akhir Januari 2013.
Syukur Iwantoro, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kemtan), menyatakan, saat ini pemerintah sedang berkonsentrasi untuk menciptakan vaksin baru. "Vaksin sedang diuji oleh para ahli, mudah-mudahan akhir Januari sudah bisa diproduksi," ujar Syukur kepada KONTAN, Jumat (21/12).
Pemerintah tengah mengujicoba vaksin untuk clade 2.1 ditantang dengan virus clade 2.3. "Sehingga diharapkan secara paralel mampu menyiapkan vaksin clade 2.3," tambah Pujiatmoko, Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Sebelumnya, Indonesia telah menciptakan vaksin penangkal virus avian influenza untuk clade 2.1. Virus AI berkode clade 2.1 sub clade 2.1.3 itu hanya menyebabkan penyakit atau patogen pada ayam. Sedangkan virus yang menyerang itik, yakni sub clade 2.3.2, berbeda dengan virus yang menyerang ayam. Kelompok virus baru ini lebih patogen pada itik.
Kemtan telah bertemu dengan seluruh Kepala Dinas Pertanian dan Kepala Balai Veteriner di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Bali, dan Lampung, serta para pakar untuk membahas langkah meminimalkan kasus flu burung. "Mereka sepakat memberikan vaksin lokal kepada itik yang terkena virus jenis baru ini," ujar Syukur.
Tapi, Ade M. Zulkarnaen, Ketua Umum Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli), pesimistis pemerintah mampu menghasilkan vaksin baru dalam tempo dua bulan. "Dulu saja, untuk menghasilkan vaksin flu burung pada ayam kampung butuh waktu dua tahun penelitian antara Pemerintah Indonesia dan Belanda," kata Ade.
Kalaupun pemerintah berhasil menciptakan vaksin untuk virus itu, Ade mempertanyakan apakah vaksin itu mampu efektif melindungi itik dari serangan sub clade 2.3.2. Sebab, Ade punya pengalaman dengan kasus flu burung yang menjangkiti ayam. "Pada 2009, saya mengembalikan seluruh vaksin peternak Himpuli, karena hasilnya tidak efektif," kata Ade.
Masalah lain yang muncul setelah vaksin ditemukan adalah bagaimana memproduksinya. Sebab, pemerintah harus memproduksi vaksin dalam jumlah besar, yakni setara populasi itik di Indonesia. Ade menghitung, jika harga rata-rata vaksin Rp 300, maka butuh biaya Rp 15,9 miliar. "Itu untuk harga di peternak, kalau harga proyek pasti lebih besar lagi. Populasi itik kita sekitar 53 juta," ungkap dia.
Apalagi, vaksinasi akan lancar apabila kegiatan restrukturisasi peternakan unggas berjalan efektif. Restrukturisasi peternakan ini setidaknya memerlukan dana Rp 300 miliar setiap tahun. "Restrukturisasi mulai 2009 tidak berjalan karena tidak ada koordinasi antara direktorat," kata Ade.
Peternak lokal mendesakpemerintah memutuskan mata rantai penyebaran virus tersebut. Kemtan harus mencari tahu asal mula virus. Jika terbukti berasal dari itik impor, maka pemerintah harus melarang impor itik. "Kami tidak makan itik impor tidak rugi karena subtitusinya banyak. Kenapa pemerintah tidak mau menghentikan impor ini?" kata Ade.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News