Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pemerintah terancam kehilangan potensi kenaikan pendapatan dari perubahan tarif royalti nikel mate yang tertuang dalam hasil renegosiasi kontrak karya (KK) dengan PT Vale Indonesia Tbk. Tarif royalti produk nikel mate disepakati 2% dari harga jual.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 9/2012 tentang Pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Sektor Kementerian ESDM, tarif royalti nikel mate yang ditetapkan 4% dari harga jual. Mag Faizal Emzita, Member Board of Director Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) menilai, penetapan tarif royalti menjadi 2% pantas dipertanyakan karena tak sesuai aturan dan berpotensi merugikan negara. "Kenapa kesepakatan tarif royalti ini terburu-buru, ini bisa merugikan negara dan akan menjadi bom waktu pemerintahan baru," kata Faizal kepada KONTAN, kemarin (8/9).
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Vale Indonesia merampungkan renegosiasi kontrak melalui penandatangan memorandum of understanding (MoU) amandemen kontrak. Dalam nota kesepahaman itu ditetapkan tarif royalti nikel mate untuk perusahaan berkode INCO ini sebesar 2%.
Vale menyatakan bersedia menaikkan tarif royalti menjadi 3%, manakala harga jual nikel naik US$ 21.000 per ton. Untuk diketahui saja, royalti nikel mate dalam kontrak karya Vale sebelumnya hanya 0,9% dari harga jual.
Menurut Faizal, penetapan tarif di bawah aturan itu bisa menghilangkan potensi pendapatan negara, lantaran ada selisih pungutan 2%. "Ini di bawah angka kewajaran sebagaimana yang diberlakukan bagi izin usaha pertambangan (IUP)," imbuhnya.
Sebagai contoh, harga jual rata-rata nikel mate sekarang US$ 13.733 per ton, sedangkan rencana produksi nikel mate milik Vale mencapai 79.600 ton tahun ini. Hitung punya hitung, selisih 2% pungutan royalti, potensi kehilangan pendapatan negara bisa US$ 22 juta per tahun.
Faizal bilang, selain tidak sesuai PP Nomor 9/2012, MoU amandemen kontrak Vale itu dinilai tidak mengacu asas keadilan. "Royalti bijih nikel saja untuk IUP dikenakan sebesar 5% dari harga jual, kok Vale masih dikenakan tarif yang rendah," keluh dia.
Revisi PP No 9/2012
Pengamat pertambangan Simon Sembiring menilai, MoU amandemen kontrak antara Vale dan pemerintah sejatinya tidak memiliki hukum mengikat. Sebab, keduanya belum masuk tahapan penandatangan amandemen kontrak karya. "Ini tugas pemerintahan baru melakukan renegosiasi ulang, agar kontrak menyesuaikan UU Mineral dan Batubara (Minerba)," kata Simon.
Sebelumnya, Nicolaas D Kanter, Presiden Direktur Vale, menyatakan, Vale dan Kementerian ESDM membahas draf amandemen kontrak yang akan menjadi payung hukum. Vale berharap amandemen kontrak bisa diteken sebelum akhir Oktober 2014.
Sementara itu, Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM bilang, pihaknya sekarang tengah melakukan proses revisi PP Nomor 9/2012, terutama soal ketentuan tarif royalti nikel mate dan feronikel.
Menurut Sukhyar, tarif royalti nikel mate dan feronikel akan diturunkan dari 4% menjadi 2% dari harga jual. "Tarif royalti nikel mate 4% tak realistis," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News