Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
Sebelumnya, CEO Vale Indonesia, Febriani Eddy mengatakan sejak beroperasi 53 tahun lalu, Vale Indonesia sangat mendukung peningkatan Energi Baru Terbarukan (EBT) melalui praktik pertambangan yang berkelanjutan.
Untuk itu, Vale Indonesia telah mengawalinya dengan meningkatkan penggunaan EBT yakni telah membangun dan mengoperasikan tiga unit Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas sebesar 365 Megawatt (MW) dan berkontribusi terhadap 36% total energi yang dibutuhkan perusahaan untuk beroperasi. Pengoperasian tiga PLTA tersebut mampu mengurangi emisi CO2 lebih dari 1 juta ton CO2eq setiap tahun.
Tak hanya itu saja, pada operasional pabrik di Blok Sorowako telah diterapkan penggunaan teknologi electric boiler, dan pemanfaatan biodiesel B30. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai target Net Zero Emissions pada 2050.
Baca Juga: Kinerja Vale Indonesia (INCO) Lebih Baik Berkat Harga Nikel
“Perseroan membuat komitmen publik yang sangat ambisius untuk mengurangi emisi karbon terkait dengan kegiatan penambangan, pengolahan, dan pada akhirnya, penggunaan produk kami. Tujuan kami adalah mengurangi emisi sebesar 30% paling lambat pada 2030 dan menjadi net zero emissions pada 2050. Hal ini sejalan dengan Paris Agreement yang telah ditandatangani Vale pada 2019 silam,” kata Febriany.
Demikian pula nantinya pada pembangunan pabrik baru di area Bahodopi, Sulteng yang akan menggunakan PLTG atau energi gas bumi. Pabrik tersebut akan menjadi pabrik nikel dengan emisi karbon per ton nikel terendah kedua setelah Sorowako yang menggunakan PLTA.
Menyusul kemudian pada proyek Pomalaa, di Sultra juga akan menerapkan operasional rendah karbon emisi. Febriany mengatakan, Vale Indonesia sangat fokus pada sektor pertambangan dan processing nikel, meski demikian tentunya operasional yang ramah lingkungan menjadi perhatian utama.