Reporter: Pamela Sarnia | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Demi mendongkrak penggunaan bahan lokal dalam pengembangan listrik, Kementerian Perindustrian (Kemprin) menerbitkan dua aturan sekaligus.
Yakni Peraturan Menteri Nomor No /2017 tentang Perhitungan Kandungan Lokal dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) serta Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Infrastruktur Ketenagalistrikan di Permen No.5/2017.
I Gusti Putu Suryawirawan, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemperin menjelaskan, tujuan aturan ini juga untuk memperkuat industri dalam negeri. "Kami berharap industri dan investasi lokal semakin berkembang," ujar Putu kepada KONTAN, Senin (27/2).
Untuk tim penilai TKDN diserahkan ke surveyor yang diawasi Kemprin. Dalam Permen 4/2017, tata cara perhitungan TKDN PLTS beserta komponennya, untuk aspek barang, bobot nilainya berkisar 2,65%- 40,50%.
Sedangkan aspek jasa, bobotnya antara 3,33%-6,67%. Beleid ini ditunggu pelaku industri, imbuh Ngakan Timur Antara, Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Struktur Industri Kemperin kepada KONTAN.
Adapun dalam Permen No.5/2017, TKDN minimal untuk modul surya (fotovoltaik) dibahas lebih lanjut. Untuk TKDN modul surya ditingkatkan bertahap. Tahap pertama, nilai TKDN minimum 40% kemudian naik minimal 50% per 1 Januari 2018. Selanjutnya naik menjadi minimal 60% yang berlaku 1 Januari 2019. Bertahap karena ada yang belum siap), kata Putu.
Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi) menyambut baik beleid anyar tersebut. "Aturan ini meningkatkan produksi dan investasi baru bagi fotovoltaik dalam negeri," kata Nick Nurrachman, Sekretaris Jenderal Apamsi kepada KONTAN.
Menurut Nick, regulasi TKDN bisa berjalan dengan bila pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) taat. "Beberapa tahun ini aturan TKDN belum efektif. Akan efektif jika pasar dalam kendali pemerintah. Swasta tidak berpengaruh," kata Nick.
Menurut Ngakan, aturan ini bisa menumbuhkan industri komponen PLTS sehingga membantu proyek energi terbarukan pemerintah. Saat ini baru terealisasi 515 MW. "Dengan TKDN, mereka bisa bangun sendiri," kata Ngakan yang juga Ketua Umum Konsorsium Kemandirian Industri Fotovoltaik Nasional (KKIFN).
Kata dia, saat ini ada 10 perusahaan fotovoltaik berkapasitas 515 MW di Indonesia. "Kapasitas yang terpakai baru 20%," kata Ngakan. Rendahnya utilisasi karena beberapa faktor. Pertama, pembangunan terlambat karena penghitungan TKDN dan feed in tariff. Banyak industri sulit penuhi aturan, kata Ngakan.
Faktor kedua, banyak produk impor. Ngaka bilang, sebagian komponen PLTS sudah diproduksi di dalam negeri seperti; baterai, penyangga modul, inverter dan solar charge controller, modul surya, kabel, DC combiner box, distribution panel, energy limiter, dan sistem proteksi.
Kementerian Perindustrian yakin, pengembangan industri fotovoltaik berbepeluang di Indonesia yang punya potensi energi surya besar. Jika dapat sinar matahari sepanjang tahun, Indonesia bisa mendapat 532,6 Giga Watt peak (GWp) energi surya.
Selain menghidupkan industri dalam negeri, kedua beleid baru ini, bertujuan mendukung pemenuhan target energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Target itu tertuang di Peraturan Pemerintah No.79/2014. Beleid ini juga sejalan dengan program pembangunan PLTS sebesar 5.000 megawatt (MW) hingga 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News