Reporter: Handoyo | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Produsen karet dalam negeri tidak akan bisa seenaknya menjual hasil produknya, terutama untuk tujuan ekspor. Pasalnya, Kementerian Pertanian (Kemtan) sedang menggodok beleid mengenai sertifikasi Karet Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Natural Rubber (ISN-Rubber).
Kebijakan ini ditargetkan dapat selesai tahun ini sehingga penerapannya bisa dilakukan pada tahun 2015 mendatang. Aturan tersebut akan bersifat wajib atau mandatori bagi semua pelaku usaha (petani) perkebunan karet rakyat. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk melindungi, mendorong, dan mempromosikan usaha perkebunan karet rakyat berkelanjutan sesuai tuntutan pasar.
Staf Ahli Direktur Tanaman Tahunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kemtan Herna Komara mengatakan, saat ini, banyak negara konsumen karet dunia yang menuntut agar produk yang diperjualbelikan bersertifikasi sustainable. "Sekarang ini, aturan itu masih ada pembahasan, sosialisasi, pendapat dan masukan dari asosiasi dan petani," katanya, Kamis (18/9).
Setidaknya, ada enam prinsip dan kriteria untuk mendapatkan ISN-Rubber tersebut. Pertama, legalitas dan pengelolaan kebun. Kedua, penerapan pedoman teknis budidaya. Ketiga, panen dan pascapanen. Keempat, pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Kelima, tanggung jawab terhadap pekerja. Keenam, tanggung jawab sosial dan komunitas.
Herna menambahkan, untuk kebun karet rakyat, sertifikat ISN-Rubber diberikan tidak secara perorangan tetapi dalam bentuk kelompok tani (Gapoktan) atau koperasi yang memasok bahan baku ke pabrik pengolahan karet. Sementara itu, lahan kebun karet dapat berasal dari pencadangan lahan atau lahan milik petani sendiri.
Implementasinya sulit
Sertifikasi untuk memperoleh ISN-Rubber dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang telah mendapat pengakuan atau approval dari Komisi ISN Rubber. Sekarang, sudah ada beberapa lembaga sertifikasi yang mendapat pengakuan dari Komisi ISN Rubber, seperti PT Mutuagung Lestari, PT Sucofindo, PT TUV NORD Indonesia, PT TUV Rheinland Indonesia, PT SAI Global Indonesia, PT Mutu Hijau Indonesia, PT SGS Indonesia, PT BSI Group Indonesia, dan PT Lloyd Register Indonesia.
Implementasi kebijakan ini cukup berat. Soalnya, lebih dari 80% lahan perkebunan karet dimiliki oleh petani rakyat. Oleh sebab itu, bila kebijakan ini diterapkan, untuk tahap awal kemungkinan yang akan dikenakan sertifikasi adalah kebun karet skala perusahaan dahulu.
Direktur Kirana Megatara Grup Johanes Candra mengatakan, untuk perusahaan karet swasta maupun PT Perkebunan Nusantara (PTPN), kebijakan tersebut tidak bermasalah. "Tetapi, kalau kebun rakyat kalau tidak dibantu berat," katanya.
Sekedar catatan saja, luas areal perkebunan karet dalam negeri tahun 2013 lalu mencapai 3.49 juta hektare (ha), atau sekitar 29% dari total lahan perkebunan karet di dunia. Total produksinya mencapai 3,08 juta ton per tahun.
Asril Sutan Amir, Penasihat Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) menambahkan, produksi karet alam Indonesia diproyeksikan terus turun. Hal ini tidak lain karena tidak ada kegiatan replanting yang dilakukan secara berkelanjutan dalam jumlah yang besar.
Selain itu, tren penurunan harga karet dunia hingga saat ini menyentuh US$ 1,5 per kilogram (kg) turut mempengaruhi kinerja produksi karet dalam negeri. Dengan penurunan harga karet tersebut, petani mengurangi kegiatan sadapan lantaran tak ekonomis, dan beralih menjadi pekerja atau buruh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News