kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.944.000   4.000   0,21%
  • USD/IDR 16.370   -48,00   -0,29%
  • IDX 7.952   15,91   0,20%
  • KOMPAS100 1.106   -0,20   -0,02%
  • LQ45 812   -1,90   -0,23%
  • ISSI 268   1,83   0,69%
  • IDX30 421   0,16   0,04%
  • IDXHIDIV20 488   0,14   0,03%
  • IDX80 122   -0,19   -0,16%
  • IDXV30 132   0,97   0,74%
  • IDXQ30 136   0,14   0,10%

Waralaba: Pasar besar, hambatan tak kalah gencar


Kamis, 30 Juli 2015 / 10:05 WIB
Waralaba: Pasar besar, hambatan tak kalah gencar


Reporter: Andri Indradie, Lisa Riani, Merlina M. Barbara, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Kondisi ekonomi sulit tak urung membuat industri waralaba ikut terjepit. Dus, dari sekian banyak jenis usaha yang diwaralabakan, hanya beberapa yang mampu bertahan dan terus bertumbuh.

Padahal, menurut Amir Karamoy, Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi, dan Kemitraan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, bisnis ini, baik yang besar maupun kecil, lumrahnya paling bisa bertahan dan tumbuh bak cendawan di musim hujan saat krisis.

Menurut Anang Sukandar, Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), salah satu kendala paling besar adalah peran dan dukungan pemerintah. Di samping insentif dan dukungan dana, usaha pemerintah membawa waralaba lokal ke luar negeri juga masih di luar harapan. Hal ini makin diperparah oleh terbatasnya akses pembiayaan dari lembaga keuangan terhadap perusahaan waralaba.

Pun pengawasan oleh pemerintah daerah (Pemda) juga belum berjalan dengan semestinya. “Butuh kerjasama pemerintah pusat, Pemda, dan lembaga-lembaga pendidikan secara intensif,” tutur Anang.

Burang Riyadi, konsultan waralaba dari International Franchise Business Management (IFBM), menunjuk beberapa sektor waralaba yang mengalami kesulitan karena faktor kondisi ekonomi, terutama di sektor jasa. Penyebabnya, konsumen lebih memilih memenuhi kebutuhan primer terlebih dulu.

Seleksi alam pun terjadi. Di tengah goncangan, cuma waralaba besar yang mampu bertahan di saat krisis mendera atau pada saat ekonomi melambat. “Misalnya, usaha laundry buat merek besar masih bagus karena dukungan manajerial dan sistem. Kalau yang kecil-kecil  rontok,” kata Burang.

Beberapa sektor yang masih berpotensi besar, antara lain makanan dan minuman, ritel, dan kesehatan atau kecantikan. Berikut ulasan potensi dan masalah masing-masing sektor:


• Makanan dan minuman
Hendy Setiono, pemilik sekaligus pendiri Baba Raffi, waralaba kebab Turki, bercerita, perlambatan terberat di industri F&B terjadi di masa kuartal III-2014 sampai kuartal I-2015. Penyebabnya lebih karena sektor ekonomi Indonesia yang juga melambat. “Kalau sektor ini masih potensial. Yang melemah justru sektor fashion, properti, dan natural resources (batubara dan minyak sawit mentah),” ujarnya.

Sampai kini, Baba Raffi sudah bercokol di delapan negara dengan total gerai 1.254. Sekitar 1.200 gerai di Indonesia, sisanya di luar negeri, seperti Singapura, Belanda, Malaysia, Filipina, Brunei, Sri Lanka, dan China. Untuk menghadapi perlambatan ekonomi, Baba Raffi akan fokus ekspansi gerai ke daerah-daerah atau kota lapis kedua. Alasannya, potensi di daerah dan kota-kota lapis kedua masih sangat besar. Hendy berharap, tahun ini bisa menambah 200 gerai baru.

Namun, tak semua waralaba makanan bernasib mujur seperti Baba Rafi. Waralaba Bebek Salto yang sudah beroperasi sejak 2009 lalu, sejak setahun terakhir mulai vakum beroperasi. Puncaknya, pada April 2014, semua cabangnya berhenti beroperasi.

Susiladi, pemilik Bebek Salto, bertutur, penutupan operasional waralabanya bukan karena merugi. Saat itu omzet mereka justru sedang baik-baiknya. Dari 11 cabang yang ada, hanya dua cabang yang masih tertatih-tatih. Itu pun karena ada masalah internal pemilik gerai, yakni sengketa lokasi usaha dan perceraian. “Kami berhenti sementara di saat kondisi usaha sedang dalam keadaan baik tanpa cela,” klaim dia.

Keputusan ini diambil karena mereka mesti mengurus pendaftaran merek dan sertifikasi halal. Targetnya, Bebek Salto dapat beroperasi kembali 1 September tahun depan. “Kami juga mempersiapkan konsep waralaba yang lebih profesional dan menguntungkan pemilik bisnis waralaba kami,” kata Susiladi.

Terlepas dari persoalan yang menimpa waralaba Bebek Salto,  Amir menilai, memang masih banyak sekali pengusaha waralaba yang terlalu memaksakan diri, termasuk di usaha makanan. Usaha yang seharusnya belum layak diwaralabakan, dipaksakan dan sudah ditawarkan ke investor. “Akhirnya, banyak investor yang merasa tertipu,” terang Amir.

Kendala lainnya adalah aturan 80% konten lokal. Hal ini berpengaruh bagi industri makanan yang mayoritas bahan bakunya masih harus diimpor. “Misalnya, ada yang mau bawa franchise udon dan ramen, bagaimana bisa terigunya dibuat dari terigu lokal?” tutur Anang.

Akibatnya, waralaba lokal  yang mampu bertahan, kebanyakan mengandalkan menu-menu tradisional yang khas dan bahan bakunya mudah ditemui di Indonesia. Namun, hal ini justru malah menjadi keunggulan waralaba makanan dan minuman lokal Indonesia.

Yang pasti, di atas kertas, sektor ini masih potensial. Potensi sektor ini terlihat dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 240 juta. Menurut Jeffrey Bahar, Deputy Chief Executive Officer (CEO) lembaga riset dan konsultan waralaba Spire Research and Consulting, total pengeluaran penduduk Indonesia sebesar US$ 70 per bulan per orang.

Dari jumlah itu, pengeluaran untuk kebutuhan F&B sekitar 41,7% atau di kisaran US$ 29,19 alias Rp 379.500 per orang tiap bulan. Selain itu, dari total jumlah penduduk, sekitar 40% di antaranya makan di luar rumah.

Dari total pasar waralaba, menurut Spire, porsi penjualan waralaba sektor F&B sebesar 35,5% atau sebesar US$ 3,4 miliar. Nilai ini setara dengan Rp 44,2 triliun. Sektor F&B masih memegang urutan terbesar dari total penjualan pasar waralaba yang pemainnya didominasi oleh merek asing.

Burang sependapat, sektor ini masih bagus. “Situasi ekonomi, baik dalam negeri maupun global, memaksa masyarakat beralih hanya ke sektor primer,” ujarnya.


• Ritel
Meskipun industri ini sempat terpukul karena lemahnya daya beli masyarakat, data di atas kertas dalam sepuluh terakhir menunjukkan, industri ritel tumbuh 17,57%. Waralaba-waralaba ritel masih optimistis mampu tumbuh di kisaran 10% lebih tahun ini.

Ini bisa terlihat dari Sumbangsih industri ritel terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 14%. Pada akhir 2015, penjualan ritel diprediksi bisa tembus US$ 14,87 miliar.

Solihin, Corporate Affairs Director Alfamart, bilang, waralaba ritel masih menarik lantaran menjual kebutuhan-kebutuhan pokok. “Kalau orang agak berhati-hati memilih atau membeli waralaba, karena saat ini ekonomi sedang melambat. Mereka berhati-hati terhadap risiko yang bisa muncul di depan,” tutur Solihin.

Kekuatan sektor ritel berasal dari kelas menengah. Sekitar 48% dari total pengeluaran untuk produk-produk kebutuhan pokok berasal dari kelas menengah yang terus tumbuh di Indonesia. Pada 2010, porsi kelas menengah masih di kisaran 56,5%. Nah, tahun 2020, Spire memperkirakan, porsi kelas menengah terhadap total penduduk bakal mencapai 76,1%.

Menurut Anang, kelemahan waralaba pada umumnya dan ritel pada khususnya adalah sistem manajemen waralaba yang berkelanjutan alias jangka panjang. Maksudnya, seringkali pemilik waralaba terlalu cepat mengharapkan untung dan uang banyak sementara investasi pengembangan di sumber daya manusia atau teknologi terabaikan. “Padahal, pemilik franchise itu baru untung setelah dia punya minimal 10 franchisee,” kata Anang.

Sementara dari sisi franchise fee, Anang menilai, di Indonesia harga franchise fee belum mahal. Hanya saja, mental masyarakat yang ingin cepat dapat uang seringkali mengabaikan hitungan return of investment (ROI). “Idealnya, di industri ritel itu empat tahun sudah balik modal. Kalau sampai enam tahun belum, ya, sebaiknya perlu dievaluasi. Itu tidak feasible,” sambung Solihin.

Persoalan lainnya, untuk mengembangkan bisnis ritel tak cukup dengan modal recehan. Untuk membeli waralaba yang sudah jadi hingga beroperasi saja, butuh modal ratusan juta hingga miliaran rupiah. Apalagi jika ingin berperan sebagai pewaralaba. Makanya, tak aneh jika waralaba ritel dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar.


• Kesehatan dan kecantikan
Sektor lainnya yang masih menarik adalah kesehatan. Dua contoh sektor ini adalah waralaba cuci darah dan spa. Sektor kesehatan masih potensial lantaran bertepatan dengan beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Untuk cuci darah, kata Amir, yang juga punya 12 cabang waralaba cuci darah, BPJS Kesehatan menganggarkan 30% dari total dananya untuk klaim pasien cuci darah.

Yang paling mahal hanyalah sewa tempat. Sebab, mesin cuci darah bisa diperoleh dengan cara menyewa. Kebutuhan total mesin cuci darah se-Indonesia diperkirakan sekitar 9.000 mesin. Saat ini, di Indonesia baru tersedia 4.000 mesin cuci darah. Artinya, masih ada kekurangan 5.000 mesin dan jadi potensi bagi waralaba-waralaba cuci darah. “Saya hitung kasar, investor bisa untung bersih Rp 30 juta per bulan,” tegas Amir.

Sedangkan bisnis spa potensial lantaran bahan-bahan kecantikan asal Indonesia sangat khas dan tidak terdapat di luar negeri. Salah satu spa yang sudah ekspansi ke luar negeri adalah spa milik Mustika Ratu. CEO PT Mustika Ratu Tbk Putri Kuswisnu Wardani bilang, semester I-2015, pertumbuhan sektor industri farmasi, kosmetik, dan jamu mencapai 9%. Meski lebih rendah daripada pertumbuhan biasanya yang mencapai dua angka, ini pertumbuhan tertinggi di antara sektor yang lain.

Sepanjang Juni 2015, lanjut Putri, bisnis Mustika Ratu tumbuh 20%. Angka ini sebenarnya masih di bawah target internal. “Tapi pertumbuhan tersebut cukup baik dibandingkan industri yang tumbuh 9%,” terang Putri.

Anda sudah mulai pilah-pilih usaha waralaba?    


Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 43-IX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Powered Scenario Analysis AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004

[X]
×