Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bakal melakukan rapat dengan manajemen PT Pertamina (Persero) untuk membahas berbagai langkah-langkah taktis dalam menghadapi dinamika global, khususnya mengenai ketersediaan energi nasional.
Rapat dengan Pertamina ini menyusul wacana bakal ditutupnya Selat Hormuz yang merupakan jalur strategis penghubung Teluk Persia dan Laut Arab.
"Saya besok juga ada rapat dengan Pertamina untuk membahas berbagai langkah-langkah taktis dalam menghadapi dinamika global, khususnya kepada ketersediaan energi kita," kata Bahlil di Jakarta, (24/6).
Menurut data U.S. Energy Information Administration (EIA), sepanjang 2024 rata-rata 20 juta barel minyak per hari melintasi selat tersebut—setara 20% konsumsi minyak global.Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) menyatakan telah menyiapkan langkah antisipatif untuk menjaga kestabilan pasokan minyak mentah ke Tanah Air.
Baca Juga: Konflik Iran-Israel Bakal Berdampak pada Industri Dalam Negeri, Kasus PHK Bisa Naik ?
"Jika nanti ada penutupan Selat Hormuz, di mana 20% pelayaran minyak mentah global melalui selat tersebut, tentu sedikit banyak akan berdampak pada distribusi minyak mentah dunia," ujar Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso kepada Kontan, Senin (23/6).
Fadjar memastikan, Pertamina telah mengamankan jalur pelayaran alternatif, seperti melalui perairan Oman dan India.
"Secara umum, pasokan kita masih terkendali," tegasnya.
Wacana penutupan Selat Hormuz oleh Iran dinilai berpotensi mendongkrak harga minyak mentah dunia secara signifikan, yang pada akhirnya bisa berdampak pada harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.
Praktisi minyak dan gas bumi (migas) Hadi Ismoyo menilai, jika konflik terus meningkat dan penutupan Selat Hormuz benar-benar terjadi, lonjakan harga minyak mentah tak terhindarkan.
"Harga crude akan naik signifikan. Saat ini Brent sudah di kisaran US$80 per barel, naik hampir 16% dari posisi US$69 per barel sebelum Israel menyerang Iran," jelas Hadi kepada Kontan, Senin (23/6).
Hadi menilai, jika skenario terburuk terjadi harga minyak mentah bisa melesat ke atas US$100 per barel.
"Kalau Selat Hormuz ditutup, 20% pasokan minyak dunia akan hilang dari pasar. Itu akan mengerek harga secara signifikan. Jika itu terjadi, Pertamina dengan persetujuan pemerintah seyogyanya menaikkan harga BBM," lanjut Hadi.
Meski demikian, Hadi menilai dalam jangka pendek pemerintah belum perlu menyesuaikan harga BBM. Pasalnya, asumsi harga minyak dalam APBN 2025 masih berada di atas harga rata-rata minyak dunia saat ini.
"Asumsi APBN kita US$82 per barel. Sementara rerata harga Brent dari Januari hingga Juni saya hitung sekitar US$75 per barel. Jadi secara teori, belum perlu ada penyesuaian harga BBM," ujarnya.
Baca Juga: Permintaan Batubara dari China dan India Turun, Begini Respons Kementerian ESDM
Selanjutnya: Adira Finance Salurkan Pembiayaan Alat Berat Rp 92 Miliar hingga Mei 2025
Menarik Dibaca: Promo Hypermart Beli Banyak Lebih Hemat s/d 26 Juni 2025, You C1000 Beli 2 Gratis 1
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News