Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT XL Axiata Tbk (EXCL) mengungkapkan sejumlah strategi dalam menghadapi tantangan dan peluang di industri telekomunikasi pada tahun 2025.
Chief Corporate Affiars XL Axiata, Marwan O Baasir mengatakan, tantangan utama bagi perseroan di tahun 2025 berupa kompetisi industri dan belum jelasnya regulasi yang berpotensi mengganggu operasi bisnis.
“Hal tersebut terutama mengenai keberadaan RT/RW Net, kemunculan Starlink, belum jelasnya aturan tentang OTT (Over The Top) yang menumpang di jaringan milik operator, hingga kebijakan mengenai regulatory charge dan lelang frekuensi,” ujarnya dalam Media Gathering XL Axiata, Rabu (23/10).
Pertama, terkait maraknya praktik penjualan kembali layanan internet ilegal (RT/RW Net).
Marwan menyebut, praktik ini merugikan pelanggan, operator, dan pemerintah karena mengabaikan kewajiban pembayaran Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP) frekuensi. Akibatnya, harga layanan internet menjadi tidak sehat, dan berpotensi mengancam keamanan data pelanggan.
Praktik RT/RW Net ini juga melanggar aturan antara lain UU nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia nomor 13 tahun 2019.
Baca Juga: XL Axiata (EXCL) Dorong Inovasi AI, Fokus Transformasi di 3 Segmen Ini
“Untuk itu, pemerintah perlu segera melakukan pengaturan dan penertiban terhadap praktik ini secara menyeluruh dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait,” ungkapnya.
Kedua, terkait kemunculan Starlink. EXCL sebenarnya menyambut kehadiran Starlink di Indonesia. Namun, manajemen perseroan menekankan perlunya pemerintah untuk menerapkan secara tegas regulasi yang seimbang untuk menciptakan playing field yang adil bagi semua pemain di industri.
“Hal ini akan mendorong persaingan sehat dan meningkatkan kualitas layanan bagi masyarakat. Kami pun siap untuk berkolaborasi dengan Starlink dan membuka peluang kerjasama untuk memperluas jangkauan layanan internet,” paparnya.
Ketiga, terkait layanan OTT yang menumpang di jaringan milik operator. Regulasi diperlukan bukan untuk memberikan keistimewaan ke operator, tapi justru agar tercipta kompetisi yang adil.
Sebab, pelaku bisnis OTT mendapatkan keuntungan yang besar dari kenaikan pendapatan yang signifikan dari kenaikan trafik. Sementara, operator telekomunikasi tidak mendapatkan manfaat yang signifikan.
Selain itu, operator diharuskan membayar PNBP, spektrum, dan USO, serta selalu berinvestasi untuk memastikan layanan kepada pelanggan. Sedangkan, OTT tidak membayar sama sekali.
“Pajak pun belum tentu mereka benar bayar. Jadi, perlu regulasi yang tegas untuk mengatur dan memastikan adanya perlakuan yang setara antara operator dengan OTT,” tuturnya.
Lebih lanjut, EXCL berharap pemerintah bisa membantu menciptakan iklim yang positif dan sehat tersebut yang juga akan bisa mendukung percepatan dan pemerataan pembangunan nasional.
Marwan menuturkan, perlu intervensi segera dari pemerintah dalam menangani sejumlah persoalan yang hingga saat ini belum ada kejelasan padahal sudah sangat jelas akan mengganggu pelaku industri telekomunikasi nasional, terutama para operator.
Tantangan regulasi yang tengah diperjuangkan oleh EXCL salah satunya juga menyangkut insentif untuk biaya regulasi. Beban biaya yang harus dipikul oleh perseroan untuk menopang operasional ini, termasuk pajak spektrum frekuensi, semakin mahal dan memberatkan.
“Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari spektrum frekuensi, yang secara berkala terus mengalami peningkatan. Hal tersebut secara langsung berdampak pada peningkatan biaya operasional operator,” tuturnya.
Pemerintah juga diharapkan bisa memperhatikan beban regulasi yang saat ini dibebankan kepada industri telekomunikasi. Sebab, rasio BHP terhadap pendapatan kotor operator telah mencapai 13-14%, ini melebihi batas wajar yang ideal 5-10%.
Terkait dengan kebutuhan atas tambahan spektrum atau frekuensi untuk peningkatan kualitas layanan, XL Axiata juga mendorong pemerintah untuk menggelar lelang spektrum yang cocok untuk jaringan 4G dan 5G.
“Kami berminat mengikuti lelang frekuensi 700 MHz dan 26 GHz yang akan diselenggarakan, dan berharap pemerintah menetapkan reserved price yang lebih terjangkau dan tidak memberatkan operator,” ungkapnya.
Selain itu, harga awal yang minim dan penerapan faktor pengurang dalam regulasi akan membantu memastikan kelayakan ekonomis bisnis operator, serta mendorong pengembangan jaringan, termasuk di wilayah pelosok.
“Karena itu, XL Axiata juga menekankan pentingnya kolaborasi yang sinergis antara pemerintah dan operator dalam membangun jaringan di lokasi yang menjadi kewajiban pemenang lelang frekuensi,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News