kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

3 usul ekonom soal kenaikan tarif impor CPO India


Rabu, 23 Agustus 2017 / 12:41 WIB
3 usul ekonom soal kenaikan tarif impor CPO India


Reporter: Choirun Nisa | Editor: Dessy Rosalina

KONTAN.CO.ID -  Kementerian Keuangan India baru saja meningkatkan bea masuk minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO). India, sebagai importir CPO terbesar di dunia menaikkkan bea masuk komoditas tersebut menjadi 15% dari sebelumnya 7,5%.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemdag) Oke Nurwan mengatakan, pemerintah masih akan membahas perihal ini.

"Tindakan negara masih akan dibahas. Ini hak dan kedaulatan negara untuk menerapkannya dalam rangka melindungi industri dalam negeri, sebagaimana Indonesia menetapkan Bea Keluar," ujar Nurwan ketika dihubungi KONTAN pada Rabu (23/8).

Melihat kenaikan CPO ini, ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat ada tiga hal yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, melakukan negosiasi bilateral dengan India. Kedua, melakukan alih ekspor CPO ke Tiongkok, atau ketiga melaporkan tindakan India kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Lana menjelaskan, negosiasi bilateral cukup memungkinkan dilakukan mengingat hubungan bilateral Indonesia-India yang baik. Selain itu, hal ini didasarkan pula pada hubungan saling keterikatan Indonesia-India di mana Indonesia merupakan pengimpor besar bahan baku obat asal India dan India merupakan negara pengekspor CPO terbesar ketiga setelah Tiongkok dan Uni Eropa.

"Jika sama-sama membutuhkan, sebaiknya negosiasi saja," jelas Lana.

Namun, jika negosiasi tidak memungkinkan, Lana menyarankan Indonesia beralih ekspor kepada dua negara pengekspor terbesar, yakni Tiongkok dan Uni Eropa. Namun, hal ini tentu bermasalah pada impor bahan baku obat dari India ke Indonesia. Akan tetapi, Lana mengatakan, hal ini dapat diatasi dengan mengimpor bahan baku obat sepenuhnya dari Tiongkok.

"Jika terus bergantung ke India sementara dari sana mahal, maka obat di Indonesia akan mahal nantinya. Akan lebih baik kalau subtitusi kepada Tiongkok. Tiongkok dan India itu sumber bahan baku obat terbesar bagi Indonesia," ujarnya.

Terakhir, jika kedua cara sebelumnya belum membuahkan hasil, maka Lana menyarankan pemerintah menggunakan cara terakhir, yakni melapor kepada WTO. Jika kenaikan bea masuk CPO tidak adil dan hanya pada beberapa negara tertentu dan belum dengan alasan yang jelas, maka permasalahan bea masuk ini dapat diadili di peradilan WTO dan bisa dicabut jika terbukti tidak adil.

"Jika terjadi hanya pada beberapa negara, misal hanya Indonesia saja naik jadi 15%, sementara di Malaysia justru hanya 5%, maka WTO bisa turun tangan. Tapi, jika kenaikan ini terjadi pada seluruh negara, maka WTO tidak bisa ikut campur," tutur Lana.

Hingga kini, belum diketahui maksud jelas pemerintah India menaikkan bea masuk CPO menjadi 15%. Menurut Lana, jika diberikan alasan yang jelas, pemerintah Indonesia tentu bisa memberikan beberapa pemakluman terhadap sikap ini seperti halnya ketika Uni Eropa menaikkan bea masuk CPO karena alasan kesehatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×