Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah membagikan insentif fiskal maupun non-fiskal untuk hilirisasi batubara. Insentif tersebut berupa izin seumur cadangan tambang hingga pemberian royalti 0%.
Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) memberikan sejumlah catatan terkait dengan hilirisasi batubara. Ketua IMEF Singgih Widagdo menilai, pemberian insentif tersebut sebagai upaya mempercepat para penambang pemegang PKP2B yang akan berubah menjadi IUPK untuk masuk ke hilirisasi batubara.
Namun, Singgih berpandangan bahwa hal tersebut belum sepenuhnya akan terjadi. Menurutnya, pemberian insentif berupa izin sampai umur cadangan tambang bisa jadi merupakan langkah yang tepat.
Namun, dalam aturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah (PP) harus dipertegas lagi, bahwa izin sampai umur tambang itu bukan untuk keseluruhan kapasitas produksi tambang batubara, tetapi sebatas volume batubara yang dibutuhkan dalam proyek hilirisasi.
"Mengingat dari seluruh produksi bisa jadi justru sebagian besar diperuntuhkkan kepentingan di luar kebutuhan hilirisasi. Posisi coal mine-plan harus diperjelas agar selama proses hilirisasi, tidak bias terhadap produksi yang diperuntukkan diluar proses hilirisasi," kata Singgih kepada Kontan.co.id, Minggu (18/10).
Baca Juga: Selain izin seumur tambang, pembeli produk hilir batubara juga harus tersedia
Dia bilang, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diperhatikan dalam proyek peningkatan nilai tambah tersebut. Apalagi, hilirisasi merupakan proyek baru yang bukan sepenuhnya berada di lingkup industri pertambangan, tetapi di industri kimia.
Oleh sebab itu, efektivitas insentif juga akan ditentukan dari bagaimana serapan pasar atas produk hilirisasi batubara, skema substitusi impor misalnya dari DME pada LPG, serta garansi dan harga produk yang dihasilkan. "Semuanya ada di wilayah bisnis chemical industry dan bukan mining industry lagi, sehingga budaya bisnis sangat berbeda. Kalkulasi bisnis dan pasar juga berbeda, sehingga penambang akan berhitung dengan detail," kata Singgih.
Kendati begitu, hilirisasi batubara tetap dinilai sebagai langkah yang strategis, mengingat selama ini batubara lebih dominan ditempatkan sebagai komoditas. Pasalnya 75% dari total produksi batubara nasional diperuntukkan sebatas sebagai revenue driver bagi pendapatan negara. Sisanya, 25% untuk kebutuhan di dalam negeri, yang 70% -nya untuk kebutuhan kelistrikan.
"Dengan hilirisasi, jelas batubara bukan sebatas sebagai revenue driver semata, namun dapat memperkuat perannya sebagai economic booster untuk memperbesar multiplier effect," jelas Singgih.
Hanya saja, dia mengingatkan, hilirisasi batubara bukan berarti bisa memperbesar serapan domestik dengan cepat. Singgih mengkalkulasi, dari proyek DME (PTBA, Pertamina, Pupuk Indonesia dan Chandra Asri) serta proyek Methanol (Bumi Resources) sebatas menambah serapan sebesar 13,5 juta ton.
"Dengan total produksi nasional sebesar 550 juta ton (target tahun 2020), tetap menjadi pekerjaan rumah Kementerian ESDM, yaitu pengendalian produksi yang tetap diperlukan," tandas Singgih.
Baca Juga: Soal janji insentif izin usaha seumur tambang batubara, ini tanggapan IMA