Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ketua Umum Afiliasi Global Ritel Indonesia (AGRA) Roy Mandey menyebut komitmen Indonesia untuk meredakan tensi dagang dengan Amerika Serikat (AS) belum cukup meyakinkan.
Roy menilai, penyebab utama belum turunnya tarif impor dari AS terhadap Indonesia adalah karena tawaran pemerintah masih bersifat umum dan belum konkret.
“Amerika melihat apa yang ditawarkan Indonesia itu masih sebatas letter of intent, belum ada jaminan pelaksanaan konkret di lapangan,” ujar Joko kepada Kontan, Selasa (9/7).
Baca Juga: Saham dan Dolar Menguat, Emas Melemah setelah Sinyal AS Lunakkan Tarif China
Ia menjelaskan, pemerintah semestinya mengajukan komitmen yang mengikat dan disertai langkah-langkah teknis yang jelas. Misalnya, jadwal pembelian komoditas dari AS, nilai dan waktu pembelian, serta siapa yang bertanggung jawab atas realisasinya.
Untuk diketahui, Indonesia telah menawarkan peningkatan pembelian sejumlah produk AS seperti gandum, jagung, kapas, serta barang dari sektor energi sebagai upaya negosiasi pengurangan tarif impor 32% yang dikenakan AS terhadap Indonesia.
Namun, Roy bilang AS melihat semua itu masih dalam tahap niatan tanpa rencana aksi yang rinci.
“Kita tawarkan pembelian komoditas senilai miliaran dolar, tapi itu belum cukup. Harus ada jadwal, bukti pembayaran, dan siapa PIC-nya. Kalau hanya MoU, itu tidak akan cukup untuk meyakinkan AS,” tegas Roy.
Roy juga menyoroti soal pemilihan tim negosiator. Menurutnya, tim negosiasi perlu diperkuat oleh pejabat level tinggi, bukan hanya utusan teknis.
Baca Juga: AS Pangkas Tarif 'De Minimis' untuk Kiriman dari China Jadi 54% Mulai 14 Mei
“Kalau mau serius, harus ada diplomasi tingkat tinggi. Menteri bertemu menteri, duta besar bertemu duta besar. Bukan hanya kirim tim. Deal yang ditawarkan juga harus konkret, bukan sekadar seremoni,” tegas Roy.
Roy mengingatkan, saat ini posisi Indonesia yang tergabung dalam BRICS turut menjadi sentimen negatif bagi AS. Ada risiko AS melihat arah geopolitik Indonesia mulai condong ke China, terutama dari sisi rantai pasok.
Jika tarif impor tetap bertahan di level tinggi saat ini, yakni 32%, Roy memperkirakan dampaknya akan cukup berat bagi kinerja ekspor nasional. Produk seperti CPO, elektronik, tekstil, alas kaki, hingga mainan berpotensi kehilangan daya saing di pasar AS.
“Kalau ekspor ke AS terganggu, ini akan berdampak ke produktivitas dan tenaga kerja. Industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki bisa terkena PHK massal,” ungkap Roy.
Baca Juga: Mata Uang Asia Loyo (29/5), Dolar Perkasa Usai Putusan Pengadilan AS Soal Tarif Trump
Sebagai langkah mitigasi, Roy mendorong pemerintah memperluas pasar ekspor ke negara-negara lain seperti Afrika, Asia Tengah, hingga Eropa Timur.
Dalam hal ini, peran perwakilan Indonesia di luar negeri juga perlu diperkuat, bukan hanya sekadar menjalankan fungsi diplomasi.
“Mereka harus jadi marketer produk Indonesia. Bukan hanya seremoni atau mendampingi VVIP, tapi juga punya target ekspor yang jelas dan terukur,” sebut Roy.
Roy menekankan, meski peluang penurunan tarif masih terbuka, itu hanya bisa tercapai jika Indonesia menunjukkan komitmen nyata dan bisa diandalkan. “Kalau ingin tarif turun sebelum 2025, jangan cuma semangat dan wacana,” pungkasnya.
Selanjutnya: Pasokan Ruang Kantor Terbatas Sampai Akhir Tahun, Ada Peluang Okupansi Meningkat
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Sarapan saat Diet Tubuh, Cegah Keinginan Ngemil Tengah Malam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News