Reporter: Filemon Agung | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai menghentikan penambahan kapasitas dari pembangkit fosil seperti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Pembangkit-pembangkit fosil yang berusia uzur secara bertahap direncanakan akan diganti dengan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).
Menteri ESDM Arifin Tasrif menuturkan rencana mewujudkan Blue Sky Indonesian Archipelago, salah satunya dengan konversi PLTD ke gas atau gasifikasi. Langkah ini dipercaya dapat menekan emisi gas rumah kaca demi menyelaraskan target yang disepakati dalam Paris Agreement.
"Kita gunakan sumber bahan bakar yang lebih bersih dan cost lebih murah. Tidak boleh lagi bangun PLTD baru, PLTD lama akan konversi dengan gas dan EBT," kata Arifin dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Senin (23/11).
Baca Juga: Apronuki usulkan nuklir dibahas dalam RUU energi baru dan terbarukan
Arifin mengungkapkan, jika belum ada pengganti atau konversi maka PLTD masih dapat tetap beroperasi. Adapun, untuk PLTD yang telah memulai konstruksi sebelum regulasi terbaru terbit maka pembangunan akan tetap dilanjutkan.
Namun, Arifin memastikan, pembangunan PLTD yang telah terlanjur dilakukan nantinya akan tetap dikonversi.
Adapun, regulasi yang dimaksud yakni Keputusan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penugasan Pelaksanaan Penyediaan Pasokan dan Pembangunan Infrastruktur LNG, Serta Konversi Penggunaan BBM dengan LNG Dalam Penyediaan Tenaga Listrik.
Sebagai tahap awal, upaya gasifikasi pembangkit ditargetkan pada 52 pembangkit dengan implementasi diperkirakan rampung dua tahun ke depan.
Disisi lain, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) merencanakan lelang proyek konversi pembangkit pada Januari 2021.
Direktur Mega Proyek PLN M Ikhsan Asaad bilang dalam pelaksanaan ini pihaknya bakal menggandeng Independent Power Producer (IPP) alias perusahaan swasta.
"Kami membuka peluang kerja sama dengan IPP di awal Januari kami akan buka tender," ungkap Ikhsan dalam gelaran The 9th Indonesia EBTKE ConEx yang diselenggarakan virtual, Senin (23/11).
Adapun, konversi PLTD ditargetkan menyasar 5.200 unit PLTD. Selain mendorong pemanfaatan EBT, langkah ini dinilai dapat menekan impor bahan bakar minyak (BBM). Proyek ini bakal menghasilkan kapasitas listrik EBT dengan total 2 GW.
Baca Juga: Begini aspirasi pertamina terkait RUU energi baru dan terbarukan
Ikhsan melanjutkan, konversi ini juga bakal berdampak positif bagi masyarakat pasalnya penggunaan PLTD di sejumlah daerah dinilai baru bisa menghadirkan ketersediaan listrik untuk kurun 6 jam hingga 12 jam.
"Ini membuat ekonomi masyarakat tumbuh seperti pariwisata, perikanan dan lainnya. Ini jadi prioritas kami," jelas Ikhsan.
Sebagai tahapan awal, konversi PLTD akan dilakukan di 200 lokasi dengan total kapasitas mencapai 225 MW. Selanjutnya, pada tahap kedua konversi PLTD mencapai 500 MW dan tahap ketiga sebesar 1.300 MW.
Adapun, PLTD yang bakal dikonversi terlebih dahulu yakni yang telah berusia di atas 15 tahun dan berada di lokasi terpencil yang belum optimal sistem gridnya dan memiliki BPP listrik tinggi.
Baca Juga: Ini usulan PLN perihal pembahasan RUU EBT
Selain PLTD, kajian terhadap PLTU pun turut dilakukan. Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu menjelaskan, salah satu opsi yang dikaji yakni mengganti PLTU yang telah berusia 20 hingga 25 tahun dengan pembangkit RBT.
"Harga EBT sudah cenderung turun. jadi kita berharap EBT yang masuk sistem tidak membebani biaya pokok penyediaan (BPP) PLN, caranya di-replace dengan PLTS karena minim perawatan dan pembangunan cepat," kata Jisman dalam EBTKE ConEx 2020 virtual, Selasa (24/11).
Jisman melanjutkan, opsi kedua yang dikaji yakni dengan mempertahankan PLTU namun dengan melakukan substitusi energi primer pembangkit dengan biomassa alias cofiring.
Menurutnya, ujicoba telah dilakukan dengan substitusi 30%-35% energi primer dari biomassa dan tidak menemui kendala pada pembangkit.
Jisman melanjutkan, ke depannya tekanan pada PLTU akan semakin tinggi dan berdampak pada pendanaan yang sulit diperoleh.
Sekedar informasi, tercatat ada 2.246 unit PLTD dengan total kapasitas mencapai 1,78 GigaWatt (GW) yang tersebar di 29 provinsi dan 23 unit PLTU yang tersebar di 7 provinsi dengan total kapasitas terpasang sebesar 5.655 MW yang direncanakan akan mengalami konversi.
Baca Juga: Indonesia dan Denmark perkuat kerja sama di sektor energi terbarukan
Demi mengejar target bauran EBT 23%, Kementerian ESDM menargetkan tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT hingga 2025 sebesar 17,4 Giga Watt dengan investasi sekitar US$ 41,2 miliar.
Nilai investasi tersebut terdiri dari PLT Panas Bumi sebesar US$ 17,45 miliar, PLT Air atau Mikrohidro senilai US$ 14,58 miliar, PLT Surya dan PLT Bayu senilai US$ 1,69 miliar, PLT Sampah senilai US$ 1,6 miliar, PLT Bioenergi senilai US$ 1,37 miliar dan PLT Hybird sebesar US$ 0,26 miliar.
RUPTL 2021-2030 kelar bulan ini
Disisi lain, demi menyukseskan rencana konversi pembangkit diesel dan uap uzur dengan EBT, pemerintah memastikan tengah merampungkan penyusunan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Jisman mengungkapkan, sejauh ini renvana pengembangan kelistrikan memang masih mengadopsi RUPTL 2019-2028 dimana share PLTU masih mendominasi. "Saat ini kami sedang intensif membahas ruptl yang baru 2021 - 2030, berharap Desember bisa dikeluarkan," kata Jisman.
Baca Juga: Pada Januari 2021, PLN akan lelang proyek konversi 5.200 PLTD ke EBT
Ia memastikan, PLTU masih dipertahankan karena harganya masih tergolong rendah dan dapat memenuhi target 35.000 MW pada 2023 mendatang.
Jika merujuk RUPTL yang ada maka ada kebutuhan tambahan 56,4 GW kapasitas. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih mendominasi dengan porsi 48%, lalu pembangkit berbasis gas 22% dan pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) 30%.
Dilihat dari porsi kepemilikan pembangkit, dari 56,4 GW tersebut, pembangkit yang dimiliki PLN mencapai 28%, pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) 43%, kerjasama IPP dan anak perusahaan PLN mencapai 17%, sisanya unallocated dan kerjasama antara wilayah usaha.
Kendati demikian, Jisman memastikan upaya konversi ke EBT juga akan tetap dilakukan dan tak bisa ditawar lagi mengingat saat ini BPP tenaga listrik EBT semakin turun dan harga EBT juga mulai mengalami penurunan.
Disisi lain, kebutuhan tambahan kapasitas 56,4 GW untuk 2023 mendatang diprediksi bakal mengalami penyesuaian dalam RUPTL terbaru karena penurunan permintaan.
"Ada pengaturan kembali karena demand kita turun, belum bisa bilang nerapa tapi penurunan 10 GW-15 GW. Sedang hitung-hitung berapa yang sebetulnya perlu kita bangun," kata Jisman.
Penurunan ini juga rupanya menyasar pembangkit EBT. Jisman menjelaskan, secara khusus untuk EBT jika merujuk RUPTL lama maka ada kebutuhan tambahan 16,7 GW untuk 10 tahun ke depan.
Namun, nantinya dalam RUPTL terbaru jumlah kapasitas diprediksi bakal mengalami pengurangan. Jisman memastikan, kendati ada penguramagn pihaknya tetap berkomitmen agar porsi besaran 23% bauran EBT di 2025 tetap terjaga.
Salah satu langkah yang ditempuh yakni melalui konversi pembangkit diesel dan pembangkit uap uzur tersebut. Langkah ini dinilai dapat mempercepat masuknya pengembangan EBT dalam sistem kelistrikan.
"Kita lagi mau lihat dan hitung-hitungan pada PLTU yang tua apa direplace apa digunakan tetap karena dari harga sekarang ini harga EBT cenderung turun, EBT dalam sistem tidak bebani PLN," terang Jisman.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Listrik Swasta (APLSI) Arthur Simatupang bilang pihaknya belum menerima draft RUPTL 2021-2030.
"Karena ini sudah akhir tahun saya dengar tertunda, RUPTL 2021 asosiasi belum terima. Pelaku usaha menunggu kepastian," kata Arthur.
Senada, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Riza Husni mengungkapkan berdasarkan informasi yang diterima porsi EBT dalam RUPTL tidak besar. Kendati demikian, ia merasa sejauh ini asosiasi belum dilibatkan.
"Kepada asosiasi tidak ada (pembahasan), harusnya kita dilibatkan," tegas Riza.
Selanjutnya: Ini pendapat MKI soal keberadaan energi nuklir di RUU EBT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News