Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Jane Aprilyani
KONTAN.CO.ID - Aktivitas merokok di kalangan pelajar tampaknya bukan menjadi hal yang tabu lagi. Hal ini tercermin dari fenomena ini terjadi di berbagai sekolah di Jakarta. Salah satunya KONTAN menemukan sekolah setara SMA Madrasah Tsanawiyah, Jakarta Barat. Tiga pelajar tampak memegang sepuntung rokok di tangannya usai bel pulang sekolah berbunyi.
Salah satu bercerita sudah mengkonsumsi rokok sejak beberapa bulan belakangan.“Coba merokok baru dua atau tiga bulan ini. Itu juga karena lihat teman merokok, jadi pengen coba,” ujar Agus (nama samaran).
Sementara yang lain mengaku mencoba merokok karena melihat berbagai unggahan orang- orang di media sosial. “Kadang lihat orang merokok itu keren aja,” kata Rico (nama samaran).
Ketiganya kompak menjawab rokok yang dibeli dari warung yang letaknya tak jauh dari sekolah. Biasanya, uang sekolah yang diberikan orangtua akan disisihkan membeli satu atau dua batang rokok jenis Mild, Magnum, Filter.
Pedagang yang tak jauh dari sekolah itu pun menuturkan memang ada pelajar yang membeli rokok ketengan di warungnya. Dan kebanyakan anak-anak tidak mengaku membeli rokok untuk dikonsumsi sendiri. “Ada yang mengaku beli untuk ayahnya, tetapi saya sudah ingatkan,” sebut Sri, pedagang berusia 32 tahun itu.
Baca Juga: Sejumlah Pihak Mengkritisi Polemik RPP Kesehatan Terkait Zat Adiktif
Sri menuturkan tak hanya pelajar, ada juga pekerja bangunan, pedagang asongan, atau pekerja kantoran yang membeli rokok ketengan dari warungnya. Penjualan rokok ketengan diakui Sri cukup menguntungkan baginya. “Kalau jual per bungkus untungnya Rp 2.000, tetapi kalau jual per batang biasanya Rp 1.000. Ya, kalau jual satu bungkus yang isinya 16 batang bisa untung Rp 16.000,” beber Sri.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Adi Dasmin tak menampik bahwa memang fenomena merokok terus menjangkit para pelajar khususnya di daerah Jakarta.
Baginya, solusi penanganan yang tepat adalah kerjasama yang erat antara pihak sekolah dengan orangtua untuk melarang dan memantau aktivitas anak. “Harus ada kebersamaan pihak sekolah dan orangtua untuk melarang anak merokok,” ujar Adi Dasmin.
Terus Meningkat
Kebiasaan merokok pada anak menjadi catatan utama bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra melihat prevalensi perokok anak dan remaja di berbagai kelompok usia terus meningkat.
Pada kelompok usia 15-19 tahun prevalensinya naik 3 kali lipat dari 7,1% menjadi 20,8%, sementara pada usia yang lebih muda (10-14 tahun), meningkat 16 kali lipat dari 0,3% menjadi 4,9%.
“Ada 4 dari 7 pemicu anak dan remaja merokok berkaitan dengan iklan, yaitu melihat display rokok di tempat penjualan, melihat iklan rokok di televisi, melihat Iklan rokok di media luar ruang dan melihat postingan rokok /asosiasi dengan rokok di media sosial,” ujar Jasra kepada KONTAN belum lama ini.
Baca Juga: Dukungan untuk Perokok Dewasa Agar Beralih ke Produk Tembakau Alternatif
Hal senada juga diungkapkan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti. Dia menyampaikan bahwa tayangan merokok atau produk rokok yang merajalela di media massa atau media sosial memang jadi pemicu remaja tertarik mencoba rokok. “Persentase melihat iklan di televisi capai 65,2% dan media sosial atau internet capai 36,2%,” ujar Eva yang mengutip survei dari Global Youth Tobacco tahun 2019.
Dari paparan iklan rokok itu, Eva meyakini mendorong remaja untuk membeli rokok batangan. Kementerian Kesehatan pun menilai pembelian rokok batangan masih tinggi. Eva bilang dari survei Global Adult Tobacco tahun 2021 sekitar 71,3% perokok remaja membeli rokok ketengan dan 60,6% perokok remaja tidak dicegah karena usianya saat membeli rokok.
Yang mengejutkan lagi jika dibandingkan dengan kebutuhan rokok seperti beras, belanja rokok kretek jauh lebih tinggi. “Belanja rokok kretek tiga kali lebih tinggi dari belanja telur, bensin ataupun pembayaran listrik,” imbuh Eva.
Oleh karena itu, Eva berharap ada pelarangan penjualan roko batangan atau ketengan dan mengupayakan larangan iklan promosi dan sponsorship agar remaja susah mengakses produk rokok.
Berbagai studi dan penelitian juga membuktikan bahwa paparan iklan produk tembakau sangat mempengaruhi perilaku anak merokok dan semakin banyak terpapar, semakin tinggi peluang inisiasi merokok. Jasra menambahkan 144 negara di dunia sudah melarang iklan, promosi dan sponsor rokok. negara-negara anggota Asean telah menerapkan pelarangan iklan, promosi dan sponsor (IPS) rokok, kecuali Indonesia.
“Negara ASEAN, Thailand dan Brunei telah melarang IPS secara komprehensif dan patuh terhadap aturannya,” kata Jasra mengutip dari Seacta Taps Index 2022.
Baca Juga: KPAI Sebut Prevalensi Perokok Anak Sulit Ditekan, Ini Sebabnya
Sebagian lagi sudah melakukan pelarangan total terhadap iklan langsung, promosi, sponsorship, dan iklan di tempat penjualan, CSR, display pack, dan cross border. Sedangkan Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang masih belum ada pelarangan total di semua aspek iklan promosi sponsor rokok
Praktik terbaik di beberapa negara menunjukan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok secara menyeluruh baik iklan langsung maupun tidak langsung bisa melindungi anak-anak dari kebiasaan merokok. Jasra mencatat hasil kajian akademisi dan praktisi anti tembakau, Lin Li pada tahun 2015, di Thailand, pelarangan iklan, promosi dan sponsor secara menyeluruh berhasil menurunkan prevalensi perokok dari 70 % pada tahun 1995 turun menjadi 40%.
Sayangnya temuan KPAI pada tahun 2023, rokok ketengan sangat sulit diberantas, demi meneguhkan keinginan kita bersama menjauhkan rokok dari anak. Padahal Bappenas memperkirakan jika tidak ada upaya yang signifikan seperti pelarangan iklan produk tembakau untuk melindungi anak dari target pemasaran produk tembakau maka diperkirakan prevalensi perokok anak akan mencapai 15,95% pada tahun 2030 atau meningkat dari 3,3 juta menjadi sekitar 6,8 juta anak.
“Maka kami mendorong usulan agar melarang zat adiktif produk tembakau diiklankan, dipromosikan dan memberikan atau memfasilitasi pemberian sponsor dalam bentuk apapun,” beber Jasra lebih lanjut.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Tak sekedar paparan iklan yang dihimbau untuk dilarang, Kementerian Kesehatan menetapkan pencegahan dan pengendalian konsumsi rokok di kalangan pelajar adalah penerapan kawasan tanpa rokok.
Eva bilang kawasan tanpa rokok perlu ditegakkan untuk melindungi kesehatan remaja dari bahaya asap rokok, mencegah rokok pemula, menurunkan angka kematian akibat rokok dan terciptanya lingkungan sehat.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no.64 tahun 2015 dibuatlah aturan tentang penetapan sekolah sebagai lingkungan kawasan tanpa rokok. Tak hanya itu, Eva bilang tempat anak bermain, fasilitas pelayanan kesehatan, angkutan umum, tempat ibadah juga tidak diperbolehkan sebagai sarana melakukan aktivitas merokok.
Namun pada kenyataannya masih ada saja pelajar yang melakukan aktivitas merokok di kawasan tanpa rokok. KPAI 2023 telah melaksanakan pengawasan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok. “Kami melihat, meski sekolah sudah menetapkan larangan merokok di fasilitas publik, namun pada kenyataannya di lingkungan sekitar sekolah masih mudah di jumpai pengual ketengan rokok. Bahkan dalam kelompok kerja pengaduan KPAI, terdapat anak anak yang merokok di kelas, di ruang sekolah yang tidak terpakai atau tidak terawasi,” terang Jasra.
Baca Juga: KPAI: Rokok Murah Jadi Kendala Mengendalikan Konsumsi Rokok
Eva mendata beberapa kota yang mengimplementasikan peraturan kawasan tanpa rokok yaitu kota Depok, Bogor, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Klungkung, Kota Padang Panjang, Kota Denpasar dan Kota Bangli. “Saat ini masih 56 kabupaten atau kota di 18 Provinsi yang belum memiliki peraturan kawasan tanpa rokok,” jelas Eva.
Jasra berpendapat kesepakatan semua pihak dalam berbagai peraturan yang sepakat menjauhkan anak dari rokok, terus di langgar. Sehingga upaya apapun yang dilakukan, baik melalui pencatuman larangan merokok untuk anak di produk, pembatasan iklan, promosi dan sponsor, pengawasan distribusi dan penjualan rokok, boleh dikatakan gagal.
“Terutama karena soal penegakan hukum, anak justru kehilangan hak nya akibat terpapar rokok, maraknya penjualan rokok lebih murah setelah kenaikan cukai, munculnya berbagai produk ‘yang di tangkap seolah olah’ bukan rokok, murahnya rokok karena di jual ketengan, penampilan iklan rokok yang manipulatif, belum lagi ada yang berdampak pengasuhan akibat konflik tentang larangan rokok dari orang tua, sehingga menjauhkan anak dari keluarganya,” terang Jasra.
Untuk itu, Jasra dengan tegas menyatakan penegakan hukum harus dengan tegas diberlakukan. Untuk melindungi hak hirup udara yang sehat untuk anak anak Indonesia.
Baca Juga: Tolak Larangan Iklan Produk Tembakau di RPP Kesehatan, DPI Bersurat ke Kemenkes
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News