Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Yudho Winarto
Ia menyampaikan, deindustrialisasi adalah sebuah kondisi yang dipengaruhi oleh kebijakan yang terjadi akibat ekonomi tidak kompetitif atau terlalu tertutup, sehingga menyebabkan inflasi tinggi, nilai tukar tidak stabil, suku Bungan tinggi, dan daya saing manufaktur menurun.
"Inflasi di Indonesia, khususnya sejak 2016, selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi, kecuali saat awal pandemi Covid-19 pada 2020. Sehingga tidak bisa dikatakan memicu deindustrialisasi,” kata Kiki.
Sektor manufaktur berkontribusi terhadap nilai tambah PDB nasional sebesar 19 persen, terbesar di antara sektor lainnya. Sektor ini juga merupakan sektor terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja.
"Sektor manufaktur merupakan game changer. Indonesia disebut emerging karena pertumbuhannya di atas pertumbuhan ekonomi dunia dan menjadi the puller of global economic growth. Sehingga, dunia melihat Indonesia sebagai sumber pertumbuhan,” paparnya.
Percepatan pertumbuhan perlu dikejar sebelum terjadi penurunan dividen demografi yang diperkirakan terjadi pada tahun 2037.
"Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7%, Indonesia perlu menguatkan struktur melalui manufaktur sehingga kontribusinya dapat kembali pada kisaran 28-30%. Pertumbuhan sektor manufaktur diharapkan mencapai 9-10%,” jelas Kiki.
Baca Juga: Ekonomi Kuartal II Tumbuh 5,17%, Kemenkeu: Di Atas Ekspektasi Pasar
Sektor manufaktur mengikat daya saing dan investasi global serta menentukan daya saing Indonesia dalam ekonomi global. Hal ini dapat ditingkatkan melalui transformasi ekonomi yang akan berdampak pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, penciptaan konvergensi dalam ekonomi, penguatan integrasi ekonomi baik bilateral maupun kawasan dan global, serta mendorong Total Factor Productivity (TFP) berupa kegiatan inovasi dan R&D.
Langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan kontribusi sektor manufaktur di antaranya meningkatkan kualitas SDM manufaktur termasuk melalui peningkatan investasi manufaktur. Selanjutnya, terus mendorong ekonomi inklusif manufaktur melalui penerapan teknologi digital.
Kiki menekankan, transformasi struktural manufaktur dilakukan dengan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi manufaktur dunia, termasuk pada produk-produk green industry.
Kiki menyampaikan bahwa hasil studinya menunjukkan terdapat negara-negara yang berpotensi menjadi production network bagi sektor manufaktur Indonesia. Salah satunya adalah Vietnam.
"Indonesia berpotensi bermitra dengan Vietnam, didukung oleh Australia melalui IA-CEPA dan Korea Selatan melalui IK-CEPA. Arah manufaktur masa depan berbasis tambang, seperti nikel, besi, baja dan timah, termasuk ke arah pengembangan produk baterai untuk mendukung ekosistem electric vehicle,” ujarnya.
Kiki menambahkan, Indonesia juga memiliki potensi untuk mengembangkan aftersales service (jasa purnajual) untuk produk-produk industri. Kegiatan R&D dan inovasi sangat diharapkan berkembang di Indonesia.