Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor manufaktur adalah sektor andalan perekonomian negara berkembang (developing country), termasuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari nilai investasi, kontribusi ekspor, serta tingkat penyerapan tenaga kerja.
Begitu pula dari sisi kontribusi pajak, - sumber aktivitas formal dan devisa negara. Oleh karena itu, produktivitas dan daya saing sektor manufaktur harus terus ditingkatkan.
Transformasi struktural membutuhkan sektor industri, baik manufaktur maupun konstruksi, agar ekonomi nasional dapat tumbuh lebih cepat.
Sejak krisis ekonomi Asia di tahun 1998, khsusunya dari tahun 2003, pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi nasional sehingga proporsi manufaktur terhadap PDB terus menurun.
Kondisi ini perlu ditingkatkan melalui transformasi struktural manufaktur Indonesia dengan memanfaatkan kekuatan global.
Rektor Universitas Padjadjaran, Profesor Rina Indiastuti dalam diskusi daring bersama Kemenperin menuturkan pertumbuhan sektor manufaktur yang selama beberapa dekade terakhir selalu ditopang oleh industri berbasis sumber daya ternyata rentan terhadap faktor eksternal.
Baca Juga: Faisal Basri: Kebijakan Hilirisasi RI Hanya Menguntungkan China
"Selain dipengaruhi oleh faktor seperti ekspor dan investasi, sektor manufaktur juga rentan terhadap krisis eksternal, sehingga, kondisi tersebut perlu dipahami," Rektor Universitas Padjadjaran, Profesor Rina Indiastuti dalam diskusi daring, dikutip dari keterangan resmi yang diterima Kontan.co.id, Selasa (8/8).
Prof. Rina mengatakan, pandemi Covid-19 juga merupakan salah satu krisis yang dihadapi sektor manufaktur. Pulihnya sektor ini pascapandemi menunjukkan bahwa manufaktur masih punya kekuatan, didukung oleh kekayaan sumber daya alam serta pasar yang luas.
Karenanya, untuk meningkatkan kontribusi sektor manufaktur, perlu dilakukan reorientasi dan penguatan strategi dalam mengoptimalkan peluang pasar global.
Upaya yang ditempuh antara lain adalah dengan menyetarakan kemampuan dan kualitas sektor industri di dalam negeri dengan di negara lain, termasuk dengan update tekonologi.
Selanjutnya, perlu mengikuti kebijakan-kebijakan kelembagaan yang diambil oleh negara lain karena berpengaruh pada keputusan investasi yang akan ditanamkan di Indonesia.
Terkait penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, peneliti senior LPEM FEB UI yang juga merupakan Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Kiki Verico berpendapat bahwa hal tersebut perlu diperbaiki.
Baca Juga: Faisal Basri Soroti Kontribusi Pajak Industri Manufaktur yang Kian Melemah
Namun begitu, tidak mudah untuk mengatakan suatu negara mengalami deindustrialisasi hanya karena sektor manufaktur mengalami penurunan kontribusi.
Ia menyampaikan, deindustrialisasi adalah sebuah kondisi yang dipengaruhi oleh kebijakan yang terjadi akibat ekonomi tidak kompetitif atau terlalu tertutup, sehingga menyebabkan inflasi tinggi, nilai tukar tidak stabil, suku Bungan tinggi, dan daya saing manufaktur menurun.
"Inflasi di Indonesia, khususnya sejak 2016, selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi, kecuali saat awal pandemi Covid-19 pada 2020. Sehingga tidak bisa dikatakan memicu deindustrialisasi,” kata Kiki.
Sektor manufaktur berkontribusi terhadap nilai tambah PDB nasional sebesar 19 persen, terbesar di antara sektor lainnya. Sektor ini juga merupakan sektor terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja.
"Sektor manufaktur merupakan game changer. Indonesia disebut emerging karena pertumbuhannya di atas pertumbuhan ekonomi dunia dan menjadi the puller of global economic growth. Sehingga, dunia melihat Indonesia sebagai sumber pertumbuhan,” paparnya.
Percepatan pertumbuhan perlu dikejar sebelum terjadi penurunan dividen demografi yang diperkirakan terjadi pada tahun 2037.
"Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7%, Indonesia perlu menguatkan struktur melalui manufaktur sehingga kontribusinya dapat kembali pada kisaran 28-30%. Pertumbuhan sektor manufaktur diharapkan mencapai 9-10%,” jelas Kiki.
Baca Juga: Ekonomi Kuartal II Tumbuh 5,17%, Kemenkeu: Di Atas Ekspektasi Pasar
Sektor manufaktur mengikat daya saing dan investasi global serta menentukan daya saing Indonesia dalam ekonomi global. Hal ini dapat ditingkatkan melalui transformasi ekonomi yang akan berdampak pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, penciptaan konvergensi dalam ekonomi, penguatan integrasi ekonomi baik bilateral maupun kawasan dan global, serta mendorong Total Factor Productivity (TFP) berupa kegiatan inovasi dan R&D.
Langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan kontribusi sektor manufaktur di antaranya meningkatkan kualitas SDM manufaktur termasuk melalui peningkatan investasi manufaktur. Selanjutnya, terus mendorong ekonomi inklusif manufaktur melalui penerapan teknologi digital.
Kiki menekankan, transformasi struktural manufaktur dilakukan dengan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi manufaktur dunia, termasuk pada produk-produk green industry.
Kiki menyampaikan bahwa hasil studinya menunjukkan terdapat negara-negara yang berpotensi menjadi production network bagi sektor manufaktur Indonesia. Salah satunya adalah Vietnam.
"Indonesia berpotensi bermitra dengan Vietnam, didukung oleh Australia melalui IA-CEPA dan Korea Selatan melalui IK-CEPA. Arah manufaktur masa depan berbasis tambang, seperti nikel, besi, baja dan timah, termasuk ke arah pengembangan produk baterai untuk mendukung ekosistem electric vehicle,” ujarnya.
Kiki menambahkan, Indonesia juga memiliki potensi untuk mengembangkan aftersales service (jasa purnajual) untuk produk-produk industri. Kegiatan R&D dan inovasi sangat diharapkan berkembang di Indonesia.
Ketua Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, pertumbuhan industri makanan minuman saat ini cukup baik, mendekati 5%, dengan kontribusi 38,61% terhadap pertumbuhan industri pengolahan nonmigas.
Baca Juga: Industri Manufaktur Topang Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2023
"Targetnya, pada akhir tahun 2023, pertumbuhan subsektor makanan dan minuman dapat melampaui lima persen,” kata Adhi.
Untuk mendorong pertumbuhannya, industri makanan dan minuman bertransformasi dengan menerapkan teknologi.
Dalam hal ini, Adhi menyampaikan, Kementerian Perindustrian mendukung melalui pendampingan bagi para pelaku industri makanan dan minuman untuk mendorong lahirnya lighthouse industri 4.0 baru dari subsektor tersebut, di samping empat lighthouse yang sudah ada.
“Untuk itu, seperti yang disampaikan Bapak Kiki Verico, kualitas SDM industri sangat penting dalam menunjang industri 4.0,” imbuhnya.
Upaya selanjutnya meliputi penerapan prinsip-prinsip industri hijau untuk menjaga keberlanjutan dalam industri. Industri makanan dan minuman berpedoman pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 39 Tahun 2022 tentang Standar Industri Hijau dalam penerapannya.
“Kami optimistis, bila didukung dengan memadai, pertumbuhan ekonomi semakin baik, konsumsi meningkat, industri bisa mengejar ketertinggalan, dan subsektor industri makanan dan minuman bisa tumbuh sekitar 6-7%,” pungkas Ketua GAPMMI.
Optimisme dunia usaha industri dalam mengantisipasi berbagai tantangan ke depan perlu diberi apresiasi dan dijadikan salah satu tolok ukur yang mencerminkan masih terbuka luasnya peluang pengembangan sektor manufaktur di masa mendatang.
Sebagai kseimpulan, peningkatan produktivitas menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan sektor manufaktur yang dapat dicapai antara lain melalui optimalisasi pemanfaatan SDA melalui hilirisasi, inovasi teknologi pada produk/proses produksi, R&D, serta dukungan infrastruktur dan pembiayaan untuk pembangunan industri.
Pembangunan industri juga perlu difokuskan pada produk-produk unggulan yang berdaya saing global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News