Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) melarang distribusi batubara menggunakan jalan umum dan mengalihkannya ke jalan khusus mendatangkan kekhawatiran dari sejumlah kalangan. Salah satunya datang dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI).
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menilai, kebijakan yang mulai diberlakukan pada tanggal 8 November 2018 ini bisa berdampak terhadap sekitar 10 juta ton pasokan batubara dari Sumsel yang setiap tahunnya melewati jalan umum dengan nilai yang besar, yakni sekitar US$ 500 juta.
Sebab, jalan khusus batubara yang dikelola oleh PT Titan Infra Energy melalui anak usahanya, Servo Lintas Raya (SLR), maupun angkutan kereta api batubara yang ada saat ini, dinilai tidak dapat menampung pengalihan pasokan tersebut.
“APBI menyayangkan kebijakan tersebut, yang juga bertolak belakang dengan upaya Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang sedang aktif meningkatkan ekspor dalam mengatasi defisit neraca perdagangan,” kata Hendra melalui siaran persnya, Jum’at (16/11).
Produksi batubara di Sumsel pada tahun 2018 sendiri ditargetkan mencapai 48,5 juta ton atau sekitar 10% dari total target produksi nasional. Sekitar 25 juta ton batubara Sumsel diproduksi dari tambang PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan sisanya sekitar 23,5 juta ton diproduksi oleh sekitar 30-an perusahaan tambang.
Dengan jumlah itu, industri pertambangan batubara menjad sektor penting bagi Provinsi Sumsel yang selama ini dikenal sebagai lumbung energi. Dikhawatirkan, kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No 74 Tahun 2018 ini akan berdampak terhadap industri batubara dan juga sektor usaha lain yang menopang industri pertambangan batubara. Termasuk berdampak terhadap meningkatnya non-performing loan di industri pertambangan batubara dan industri penunjang.
Kekhawatiran lainnya adalah munculnya gangguan terhadap pasokan batubara untuk kebutuhan PLTU dalam negeri, serta dampak negatif terhadap penurunan pendapatan asli daerah Sumsel karena terganggunya pasokan batubara. Alhasil, penerimaan negara (pajak dan non pajak) akan terganggu dan berpotensi menekan defisit neraca transaksi berjalan.
Di samping itu, APBI juga mempertanyakan kebijakan tersebut karena hanya diberlakukan terhadap pengangkutan komoditas batubara. Sedangkan komoditas lain seperti kayu dan kelapa sawit tetap masih tetap bisa menggunakan jalan umum.
“Karenanya APBI menghimbau agar Pemprov Sumsel dapat mempertimbangkan lagi kebijakan tersebut dengan membahas lagi secara komprehensif dengan para pelaku usaha terkait,” ungkap Hendra.
Selain APBI, kekhawatiran yang sama juga diungkapkan oleh Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI). Melalui juru bicaranya, Rizal Calvary, APLSI menilaikebijakan ini berpotensi menghambat pasokan batubara untuk ketenagalistrikan.
Apalagi, menurut Rizal, sebagian besar pembangkit yang ada di Jawa dan Sumatera sangat tergantung pada pasokan batubara dari Sumsel, sehingga jika pasokannya terganggu, maka kelistrikan di Jawa dan Sumatera juga berpotensi mengalami gangguan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News