Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (Apcasi) mengeluhkan besaran bea keluar dan dana pungutan sawit yang dirasa tinggi. Hal ini dinilai inkonsisten dengan upaya pemerintah untuk menggenjot ekspor.
Ketua Apcasi Dikki Akhmar mengatakan, bea keluar dan dana pungutan sawit membuat para eksportir cangkang sawit semakin kesulitan untuk bersaing dengan negara penghasil cangkang sawit lain seperti Malaysia di pasar ekspor.
“Tidak ada pajak dan pungutan apa pun di negara-negara pengekspor cangkang sawit,” kata Dikki saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (25/8).
Sedikit informasi, saat ini para eksportir sawit perlu mengeluarkan biaya US$ 22 per ton untuk membayar bea keluar serta tarif pungutan dana perkebunan atas ekspor cangkang sawit.
Baca Juga: IPC jamin kelancaran pengiriman komoditas ekspor dari pelabuhan
Rinciannya, sebanyak US$ 7 per ton di antaranya merupakan tarif bea keluar, sementara US$ 15 per ton sisanya merupakan tarif pungutan dana perkebunan atas ekspor cangkang sawit.
Dengan besaran tersebut, performa ekspor cangkang sawit sudah cukup loyo. Catatan asosiasi, volume ekspor cangkang sawit hanya mencapai sekitar 800.000 ton dengan nilai devisa US$ 84 juta.
Realisasi volume ekspor tersebut bahkan tidak mencapai setengah dari volume ekspor tahun 2019 lalu yang mencapai 1,8 juta ton dengan nilai devisa US$ 144 juta.
Perkiraan asosiasi, realisasi volume ekspor sampai tutup tahun nanti hanya akan mencapai 1,2 juta ton, turun dibanding realisasi tahun lalu.
Celakanya, pemerintah dikabarkan memiliki rencana untuk kembali menaikkan tarif pungutan dana perkebunan atas ekspor cangkang sawit menjadi sebesar US$ 20 per ton. Dengan demikian, total beban eksportir untuk bea keluar dan tarif pungutan dana perkebunan atas ekspor akan mencapai US$ 27 per ton atau setara dengan 33% dari harga produknya.
Padahal, kegiatan ekspor cangkang sawit dinilai membawa sejumlah manfaat. Pertama, ekspor cangkang sawit berpotensi menghasilkan devisa yang tidak sedikit bagi negara, sebab cangkang sawit sangat diminati sebagai sumber bioenergi di pasar Asia, terutama Jepang dan Thailand.
Baca Juga: Bauran pembangkit EBT masih 14%, begini strategi PLN untuk meningkatkannya
Hitungan asosiasi, ekspor cangkang sawit berpotensi menghasilkan devisa senilai Rp 5,9 triliun rupiah dengan volume ekspor 3,9 juta ton di tahun 2021, Rp 6,85 triliun dengan volume ekspor 4,5 juta di tahun 2022, dan Rp 7,76 triliun dengan volume ekspor 5,1 juta ton di tahun 2023.
Perhitungan ini dibangun dengan asumsi pemerintah tidak memberikan nilai pajak dan dana pungutan sawit yang tinggi dengan asumsi kurs Rp 14.400 per dolar Amerika Serikat (AS).
Selain itu, kegiatan ekspor cangkang sawit juga dinilai memberikan sejumlah multiplier effect, sebab kegiatannya banyak melibatkan sektor UMKM, usaha transportasi, serta perusahaan bongkar muat dan perusahaan tenaga kerja bongkar muat yang banyak menyerap tenaga kerja di daerah setempat
Di sisi lain, kegiatan ekspor cangkang juga dinilai tidak akan menghambat kebutuhan biomassa dalam negeri serta memberikan manfaat bagi lingkungan, sebab cangkang sawit yang diekspor hanya berasal dari cangkang kelapa sawit yang memang tidak terserap oleh pabrik dan tidak terserap oleh kebutuhan biomassa dalam negeri.
Dengan demikian, kegiatan ekspor cangkang kelapa sawit juga dapat membantu upaya pengurangan limbah tidak produktif.
Menimbang sejumlah manfaat di atas, Apcasi menyayangkan kebijakan Kemenko Ekonomi, khususnya Kementerian Keuangan atau Badan Kebijakan Fiskal yang mengaitkan perhitungan kebijakan pajak cangkang dengan kenaikan harga CPO.
“Harga CPO tidak ada korelasinya dengan harga cangkang sawit, kami punya indek harga internasional sendiri,” imbuh Dikki.
Maka dari itu, Apcasi memiliki beberapa imbauan kepada pemerintah. Pertama, Apcasi berharap agar pemerintah memisahkan kebijakan pajak cangkang sawit dengan produk CPO dan turunan lainnya.
Baca Juga: Dorong pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia, berikut strategi PLN
Kedua, pemerintah sebaiknya tidak perlu khawatir kegiatan ekspor cangkang kelapa sawit akan menghambat kebutuhan biomassa dalam negeri, sebab cangkang kelapa sawit yang diekspor hanya berasal dari cangkang sawit yang tidak digunakan, baik oleh pabrik CPO maupun kebutuhan industri domestik dalam negeri.
Ketiga, menetapkan harga cangkang sawit secara flat dan tetap untuk memberikan kepastian harga yang relatif stabil bagi importir cangkang sawit atau industri pembangkit listrik.
Terakhir, menetapkan bea keluar dan dana pungutan dengan besaran yang ideal, yakni US$ 4 per ton untuk bea keluar dan US$ 3 per ton untuk dana pungutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News