Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) menilai investasi yang tinggi di bidang pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) sangat diperlukan. Namun, dibutuhkan juga kepastian peraturan yang membuat pengembang tertarik berinvestasi di sektor EBT.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan nilai investasi pembangkit listrik EBT mencapai US$ 36,96 miliar hingga tahun 2025 nanti.
Investasi proyek EBT tersebut terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar US$ 17,45 miliar, PLT Air dan PLT Mikrohidro sebesar US$ 14,58 miliar, PLT Surya dan PLT Bayu sebesar US$ 1,69 miliar, PLT Sampah sebesar US$ 1,6 miliar, PLT Bioenergi sebesar US$ 1,37 miliar, dan PLT Hybrid sebesar US$ 0,26 miliar.
Baca Juga: Dalam lima tahun, ESDM targetkan penambahan kapasitas pembangkit 27,38 GW
Ketua Umum API Prijandaru Effendi mengaku, tiap investor akan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum melaksanakan proyek pembangkit EBT. Salah satu aspek yang cukup berpengaruh adalah regulasi yang mendukung investasi dari para pengembang EBT itu sendiri.
"Investor butuh kepastian harga jual listrik yang menunjang nilai keekonomian proyek EBT," kata dia, Rabu (5/2).
Maka dari itu, API masih terus mencermati rencana pemerintah yang hendak menerbitkan Perpres mengenai harga jual listrik dari pembangkit EBT. Prijandaru berharap adanya kepastian regulasi dapat mendorong investasi di bidang EBT, khususnya panas bumi.
"Tiga tahun terakhir proyek pembangkit panas bumi sulit berjalan karena regulasi yang ada ternyata belum mendukung," kata dia.
Lebih lanjut, ia tidak terlalu mempermasalahkan skema tarif yang akan ditentukan dalam Perpres Feed in Tariff Listrik EBT kelak. Memang, skema feed in tariff (FiT) dalam regulasi tersebut bisa menjadi salah satu opsi untuk memperlancar investasi di sektor panas bumi.