Reporter: Mona Tobing | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Lahan pengusaha hutan tanaman industri bakal ciut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan regulasi baru yang membatasi hutan tanaman industri (HTI).
Lewat Peraturan Menteri LHK No 12/Menlhk-II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri yang diteken 24 Maret, KHLK membatasi luas areal kerja perusahaan pemilik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) maksimal hanya 70% untuk areal pokok.
Korporasi wajib mengalihkan 30% lahan yang mereka kuasai untuk dua peruntukan. Pertama, diberikan sebagai areal kehidupan seluas 20% yang nantinya akan dialihkan menjadi kebun rakyat dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar wilayah hutan tersebut.
Kedua, KLHK meminta korporasi menyisihkan 10% sisa lahan untuk kawasan perlindungan. Nantinya, 10% dari luas areal yang dikuasai korporasi ini akan dijadikan areal hutan lindung,
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menuturkan, beleid anyar baru ini memberikan akses yang lebih luas kepada rakyat untuk bisa memanfaatkan areal hutan lewat pemberian areal untuk kebun rakyat.
Pengaturan tata ruang dalam pembangunan HTI ini juga dimaksudkan agar korporasi lebih produktif untuk memanfaatkan areal yang mereka tanam sehingga ada areal yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat dan lingkungan.
Pada areal tanaman kehidupan itulah yang dikembangkan untuk pemberdayaan masyarakat melalui pola kemitraan. "Areal tanaman kehidupan ini diarahkan pada areal rawan konflik atau berdekatan dengan pemukiman masyarakat," ujar Siti kepada KONTAN, Jumat (1/5) lalu.
Selain itu, dalam beleid ini juga korporasi diarahkan untuk mengembangkan sistem silvikultur dengan penerapan agroforestry. Maksudnya, korporasi harus memperhatikan azas kelestarian lingkungan dengan menjadikan jenis tanaman berkayu sebagai tanaman utama.
Aturan ini berlaku bagi korporasi yang mengajukan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) baru setelah aturan ini terbit dan tidak berlaku surut. Nantinya, aturan akan diberlakukan kepada korporasi setelah adanya perpanjangan atau revisi RKUPHHK-HTI.
Purwadi Suprihanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengusulkan agar areal kemitraan yang akan dibagi kepada rakyat diterapkan pada wilayah yang sudah dirambah masyarakat.
Perambahan lahan
Hal ini untuk memastikan pola kemitraan menjadi bagian dari resolusi konflik tanpa mengorbankan kelayakan usaha HTI yang dijalankan perusahaan.
Jadi, alokasi 70% itu adalah alokasi maksimal dan tidak mengurangi jatah tanaman pokok dari HTI. Sedangkan 20% yang dibagi ke rakyat berasal dari lahan yang selama ini bermasalah misalnya karena ada perambahan, okupasi lahan dan sengketa.
Purwadi mencontohkan jika perusahaan memiliki 100.000 ha kemudian ada sekitar 2.000 lahan yang bermasalah. Maka lahan tersebut dialokasikan untuk 20% sebagai areal kehidupan.
Dia juga mengusulkan bahwa aturan soal jenis tanaman tidak sebatas kayu. Pasalnya, fakta di lapangan terlihat bahwa pada wilayah izin HTI yang terjadi perambahan umumnya dijadikan usaha perkebunan tanaman kelapa sawit. Padahal, jenis tanaman sawit belum diakomodasi dalam ketentuan ini sehingga berpotensi melanggar hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News