Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Arus produk impor dari China membesar di tengah gejolak geo-politik global dan tekanan ekonomi di dalam negeri. Sejumlah asosiasi industri pun memberikan catatan atas situasi ini.
Merujuk pemberitaan KONTAN sebelumnya, ekspor China ke negara ASEAN pada Mei 2025 tercatat sebesar US$ 58,37 miliar. Jumlah ini melonjak sekitar 15% dibandingkan Mei 2024.
Salah satu kenaikan terbesar berada di Indonesia. Nilai impor produk China ke Indonesia mencapai US$ 7,1 miliar atau setara Rp 115 triliun, dengan asumsi kurs Rp 16.277 per dolar Amerika Serikat (AS). Meningkat sekitar 13% dibandingkan nilai impor Mei 2024.
Selama periode Januari - Mei 2025, Indonesia sudah mengimpor barang dari China sebesar US$ 33,45 miliar atau melonjak sekitar 17% secara tahunan (yoy). Berkaca dari tahun lalu, beberapa kategori dengan nilai impor tinggi adalah produk mesin, serta peralatan listrik dan komponennya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Peralatan Listrik Indonesia (APPI) Yohanes P. Widjaja melihat banjir produk impor dari China mesti diantisipasi secara serius. Saat ini APPI masih menginventarisasi data produk apa saja yang dibanjiri impor dari China.
Baca Juga: RI Bisa Kebanjiran Barang China Imbas Kebijakan Trump,Pemerintah Diminta Lakukan Ini
"Tetapi melihat pengalaman yang lalu, kemungkinan besar adalah produk panel tegangan rendah dan menengah, produk kabel dan accesories jaringan distribusi tegangan rendah dan menengah lainnya," ungkap Yohanes kepada Kontan.co.id, Selasa (17/6).
Yohanes mengatakan arus produk impor dari China sejauh ini belum berdampak signifikan terhadap rencana produksi dan pemasaran pelaku industri di sub-sektor ini. Sebab, pemerintah dan PT PLN masih meluncurkan sejumlah proyek kelistrikan dengan tetap mensyaratkan pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
"Peraturan wajib adanya sertifikasi TKDN untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah dan BUMN harus tetap dipertahankan guna melindungi para produsen dalam negeri," tegas Yohanes.
Ketua Umum Asosiasi Pabrik Kabel Indonesia (Apkabel) Noval Jamalullail mengamini, TKDN menjadi faktor penting untuk menjaga industri dalam negeri. Sebagai contoh, Noval membandingkan posisi produk kabel untuk kebutuhan kelistrikan dengan sektor telekomunikasi (fiber optic).
Noval menjelaskan, kabel untuk kelistrikan tidak terdampak oleh banjir impor produk dari China. Sebab, PLN yang mendominasi proyek-proyek kelistrikan masih tegas terhadap pemenuhan syarat TKDN.
Sedangkan pada segmen ritel, produk kabel untuk kelistrikan terjaga oleh kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib. "Jadi (produk impor di kategori ini) susah masuk. Maka dari itu, regulasi yang baik memberikan kesempatan pada industri dalam negeri," ungkap Noval.
Berbeda nasib dengan kategori kabel fiber optic yang tidak terlindungi seperti kabel untuk listrik. Dus, para pelaku industri kabel fiber optic pun mesti bersaing ketat dengan produk impor, terutama dari China.
Kondisi ini memengaruhi tingkat utilisasi produksi industri kabel fiber optic yang saat ini berada di level 50%. Noval meminta adanya pengawasan dan ketegasan dari pemerintah.
Baca Juga: Was-Was! Pasar Indonesia Bisa Banjir Barang dari China Imbas Kebijakan Tarif Trump
Sebab, masuknya produk kabel fiber optic sebagian berasal secara paket (bundling) dengan perlatan atau komponen lainnya. Ke depan, Noval pun meminta agar pemerintah dan PLN lebih memperhatikan pemenuhan TKDN pada proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Noval melihat ada potensi arus produk impor kabel PhotoVoltaic (PV) pada PLTS yang di-bundling dengan paket dari luar negeri. "(Produsen) kabel PV di Indonesia sudah banyak, kira-kira 10 pabrik, jadi lebih dari cukup untuk memenuhi (permintaan dari proyek PLTS)," tegas Noval.
Senada, Yohanes juga berharap adanya dukungan pemerintah, terutama dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sebagai lembaga yang menjadi pintu penjaga masuknya barang-barang impor, Yohanes meminta Bea dan Cukai lebih ketat mengawasi jalur masuk barang-barang impor.
"Hal ini untuk mencegah barang-barang impor kelebihan produksi dari China yang akan masuk dan melakukan dumping sehingga menganggu pasar di Indonesia dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat," tegas Yohanes.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman sepakat, pemerintah perlu memperkuat kontrol di pelabuhan melalui penghapusan sistem post border. Pemerintah juga perlu memperkuat non-tariff measure, salah satunya dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024.
Menurut Daniel, lonjakan barang impor dari China sudah terprediksi dari beberapa bulan lalu. "Kondisi kali ini diperburuk dengan penurunan daya beli masyarakat. Kami minta ke Pemerintah untuk segera melakukan langkah antisipasi mengamankan pasar dalam negeri," tegas Daniel.
Dihubungi terpisah, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda sepakat lonjakan arus barang impor dari China mesti menjadi perhatian pemerintah. Alarm sebenarnya sudah menyala sejak lebih dari 10 tahun terakhir, saat terjadi pergeseran impor dari AS dan Jepang.
Baca Juga: Melunak, Trump Bebaskan Tarif untuk Ponsel, Komputer dan Barang Elektronik dari China
Apalagi, China memiliki perjanjian yang mempermudah arus perdagangan ke kawasan ASEAN. Indonesia menjadi sasaran dengan populasi dan pasar yang besar. Arus barang impor semakin deras dengan adanya perang dagang antara AS dan China.
"Barang-barang yang tadinya mau dikirim ke AS, akan tidak laku lagi di AS karena harga yang lebih mahal. Alhasil, China mencari pasar alternatif dan salah satu pilihannya adalah Indonesia," kata Nailul.
Dus, impor produk China semakin membesar. Mulai dari bahan baku hingga barang konsumsi. Termasuk mobil listrik yang permintaan dan pasarnya sedang berkembang.
Menurut Nailul, pemerintah perlu memberikan perhatian ekstra terhadap produk-produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri, agar industrinya bisa terlindungi. Nailul mengingatkan tumbangnya industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) agar tidak menular ke sektor yang lain.
"Indonesia harus mewaspadai arus impor barang dari China ini untuk memastikan dampaknya tidak besar ke pasar domestik kita. Jika tidak, industri dalam negeri bisa sekarat," tandas Nailul.
Selanjutnya: PGEO Buka Pintu Kerja Sama, Tapi Belum Ada Diskusi dengan Danantara
Menarik Dibaca: Ada Diskon Tiket Kereta 30%, 952.639 Tiket Sudah Terjual
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News