Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) terus menyuarakan pentingnya kehadiran dan keberanian pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri yang sedang menghadapi tekanan berat.
Hal ini seiring maraknya praktik perdagangan tidak sehat, baik unfair trade maupun predatory pricing pada produk impor China yang berakibat pelemahan kinerja industri manufaktur nasional.
Asosiasi berharap pemerintah segera menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dengan besaran yang memadai.
Asaki memandang besaran BMAD untuk keramik impor dari China yang akan diterapkan masih di bawah harapan dan ekspektasi, serta jauh dibandingkan besaran BMAD untuk impor keramik China dari Uni Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat, Meksiko, dan India.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengklaim telah menetapkan BMAD untuk keramik impor dengan nilai rata-rata 45%-50%.
Baca Juga: Diterpa Berbagai Masalah, Kinerja Industri Manufaktur Terus Merosot
Ketua Umum Asaki Edy Suyanto pun menyebut bahwa tidak ada industri atau negara maju yang kuat jika dihadapkan dengan persaingan tidak sehat seperti praktik unfair trade dan predatory pricing spt yang terjadi pada keramik impor dari China.
Harus diwaspadai bahwa hal tersebut terjadi karena kelebihan pasokan dan produksi industri keramik China. Apalagi, China kehilangan pasar ekspor utamanya ke Amerika Serikat, Meksiko, Uni Eropa, dan Timur Tengah paska negara-negara tersebut menerapkan BMAD yang tinggi di kisaran 100%-400% terhadap produk dari China.
"Keberhasilan dan keberanian dari negara-negara tersebut yang mestinya kita tiru," imbuh Edy dalam keterangan resmi, Rabu (14/8).
Selain soal ancaman produk impor, Asaki juga menyayangkan gangguan pasokan gas dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang sudah berkepanjangan, sehingga membuat Industri makin terpuruk dan kehilangan daya saing.
"Industri penerima HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu) dipaksa untuk membatasi pemakaian gas sekitar 60%--70% setiap bulannya dan selebihnya harus membayar gas dengan harga super mahal di level US$13,85 per MMBTU," ungkap Edy.
Sudah jatuh tertimpa tangga, baru-baru ini anggota Asaki menerima surat pemberitahuan dari PGN bahwa mulai pertengahan Agustus 2024 pelaku industri hanya diperbolehkan memanfaatkan alokasi gas 50%-55%. Adapun selebihnya akan dikenai surcharge (biaya tambahan) sebesar US$ 13,85 per MMBTU.
Lantas, Asaki berharap adanya perhatian dan campur tangan langsung dari Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan masalah gangguan pasokan gas dari PGN yang terus menggerus daya saing industri manufaktur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News