Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi besar tanaman sagu di Indonesia rupanya belum dioptimalkan secara maksimal. Selama ini sagu hanya diolah secara tradisional untuk menghasilkan olahan makanan seperti papeda ataupun sagu lempeng.
Perjalanan Presiden Direktur Asindo Group Fidrianto bersama Juniar Liang dan tim ke Papua pada 2015 silam menjadi titik awal pengembangan olahan makanan sehat dari tanaman sagu oleh Asindo Group.
Fidrianto mengungkapkan, sebaran lahan sagu di Indonesia mencapai 80% dari total lahan sagu yang ada di dunia. Selain pengolahan yang mayoritas masih bersifat tradisional dan belum dikonsumsi dalam skala besar, olahan sagu belum begitu banyak dikenal oleh masyarakat luas. Terdorong dengan kondisi ini, Asindo Group pun memulai inisiatif untuk pengolahan tanaman sagu dengan lebih modern.
Pada tahun 2016 pun persiapan dan berbagai kajian mulai dilakukan. Berfokus dengan memanfaatkan tanaman sagu di Pulau Bangka, Asindo Group memulai produksi tepung sagu pada tahun 2018. "Banyak sekali penyesuaian-penyesuaian dan riset serta trial yang kita lakukan sampai akhirnya kita confidence sudah dapat produk yang berkualitas," ungkap Fidrianto kepada Kontan, Selasa (21/12).
Kerja keras ini pun kini mulai membuahkan hasil dengan telah dimulainya ekspor produk tepung Sago Rumbia ke China dan Korea Selatan.
Baca Juga: Austindo Nusantara Jaya (ANJT) alokasikan mayoritas capex di Papua Barat
Tak berhenti di situ, pemanfaatan tepung sagu ini pun terus dilakukan. Alhasil pada 2019 dimulailah pengembangan olahan tepung sagu menjadi produk mie instan sehat dengan merek Sago Mee. "Sempat tertunda selama 8 bulan karena pandemi covid-19, akhirnya di Oktober 2020 kita putuskan untuk tetap dilaunching," ujar Fidrianto.
Menurutnya, kehadiran produk olahan tak hanya bertujuan menyadikan pilihan olahan menu sehat tetapi juga menjadi sarana promosi sagu bagi masyarakat secara luas. Pemilihan produk mie pun bukan tanpa alasan, Indonesia tercatat merupakan negara dengan permintaan mie instan terbesar kedua setelah China.
Dengan serangkaian riset dan melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), produk Mee Sago pun mulai dipasarkan secara luas. Fidrianto mengungkapkan, saat ini kapasitas produksi Mee Sago mencapai 200 ribu cup per bulan dengan pasar terbesar di dalam negeri khususnya di Pulau Jawa.
Meski belum mau membeberkan omset dari olahan ini, Fidrianto memastikan pihaknya kini tengah mengkaji sejumlah peluang pasar baru khususnya ekspor baik di Asia maupun Eropa. Selain itu, Mee Sago yang dibanderol dengan harga Rp 10 ribu per cup ini pun direncanakan bakal mulai dipasarkan ke pasar-pasar ritel. Untuk saat ini, produk telah dipasarkan ke sejumlah market place online di tanah air.
Baca Juga: Kenaikan harga CPO bakal berdampak positif bagi bisnis Sampoerna Agro (SGRO)
Selain untuk olahan mie instan, Fidrianto mengungkapkan, pihaknya juga terus mendorong agar tepung sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan lainnya seperti jenis-jenis kue dan kuliner lainnya.
Berbagai produk olahan ini pun dinilai dapat menjadi opsi bagi masyarakat untuk konsumsi makanan sehat dan merupakan sepenuhnya produk domestik. Fidrianto melanjutkan, dengan ini maka ada potensi penurunan biaya karena produk yang digunakan bukan merupakan produk impor.
Fidrianto menambahkan, skala pemodernan olahan tanaman sagu yang dilakukan di Pulau Bangka merupakan pilot project. Ke depannya, pihaknya menargetkan skema yang digunakan bisa diaplikasikan di wilayah lainnya yang memiliki potensi sagu.
"Sagu ini setelah kita proses dengan teknologi dan skala industri yang baik ternyata punya competitive price juga yang baik sehingga saya rasa ini sudah saatnya bisa diterima oleh masyarakat umum," pungkas Fidrianto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News