kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) berharap pemerintah revisi UU Ketenagakerjaan


Kamis, 19 September 2019 / 21:16 WIB
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) berharap pemerintah revisi UU Ketenagakerjaan
ILUSTRASI. Produk tekstil


Reporter: Kenia Intan | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) bertemu Presiden Joko Widodo, Senin (16/9) di Istana Negara. Pertemuan tersebut bertujuan meningkatkan daya saing Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) sehingga terjadi peningkatan ekspor dan penurunan impor.

Dalam pertemuan, API mengusulkan penyempurnaan beberapa aturan dan/atau regulasi. Salah satunya,  revisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menurut API revisi diperlukan agar industri TPT Indonesia bisa bersaing dengan produk impor di pasar domestik, maupun bersaing di pasar ekspor.

Baca Juga: Trisula Internastional sebut UU Ketenagakerjaan yang ada sudah ideal

Aturan tersebut dinilai API memberatkan dan memperlemah ketahanan sandang nasional. Beberapa hal yang disampaikan di antaranya: Pertama, jam kerja dalam seminggu menjadi 45 jam hingga 48 jam, selama ini jam kerja selama 40 jam saja.

Kedua, pesangon seharusnya sudah masuk dalam BPJS. Ketiga, biaya lembur yang dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan berbagai negara yang merupakan kompetitor Indonesia.

Keempat, usia minimum pekerja rata-rata lulusan SMA dan SMK adalah 17 tahun, sementara usia minimal yang tertulis dalam undang-undang adalah 18 tahun.

"Perhatian terhadap UU Nomor 13 tahun 2003 ini karena industri TPT menyerap hampir 2 juta pekerja formal," ungkap ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat Usman dalam keterangan resminya, Senin (16/9).

Baca Juga: Bukan masalah upah, ini penyebab PHK di industri tekstil

Dukungan untuk revisi UU Ketenagakerjaan juga disampaikan oleh pengamat ketenagakerjaan Wahyu Widodo. Secara umum ia menilai, UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini sudah usang dan tidak lagi sesuai untuk industri tekstil maupun bidang lainnya.

"Dengan adanya faktor teknologi perlu ada perubahan paradigma di bidang ketenagakerjaan," ungkap Wahyu ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (19/9).

Terkait pesangon, Wahyu yang pernah menjabat sebagai Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja  itu bilang, perlu ada harmonisasi antara UU Jaminan Sosial dengan UU Ketenagakerjaan.

Menurutnya harmonsasi ini perlu mengingat perusahaan yang patuh memberikan pesangon masih terhitung kecil, ia mengutip data World Bank hanya sebesar 38% saja yang patuh memberikan pesangon. 

Baca Juga: Jokowi keluhkan merosotnya ekspor tekstil dari Indonesia  

Sementara itu, Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Mirah Sumirat menyatakan, usulan yang disampaikan oleh API mengenai ketenagakerjaan dinilai tidak dapat menambah daya saing TPT. 

"Tidak ada hubungannya, tidak ada koneksinya revisi UU Ketenagakerjaan dengan meningkatkan daya saing tekstil," ungkap Mirah ketika dihubungi Kontan.co.id.

Menurutnya, poin-poin revisi tidak akan menambah daya saing produk, tetapi hanya akan  mengurangi kualitas hidup pekerja.

Menurut Mirah, dibukanya keran impor TPT oleh pemerintah menjadi hal pertama yang menyebabkan lemahnya daya saing TPT lokal. Berdasar data yang dihimpun Kontan.co.id, banjir impor yang terjadi di pasar domestik dipicu oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 64 tahun 2017 yang mengizinkan impor tanpa batas dan tanpa kontrol kepada para pedagang pemegang Angka Pengenal Impor Umum (API-U). 

Baca Juga: Tahun 2020, Indonesia menjadi kiblat fesyen muslim dunia

Selain itu, banyaknya beban pajak yang dibebankan ke pengusaha, dan panjanganya proses birokrasi menjadi faktor lain yang melemahkan daya saing produk. Hal inilah yang menurut Mirah perlu untuk diperbaiki. 

Sekadar informasi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, industri tekstil berpotensi menyerap tenaga kerja yang besar. Sayangnya, untuk saat ini ribuan tenaga kerja itu terancam tidak memiliki pekerjaan. Industri TPT Indonesia tengah lesu dibanjiri produk impor. Akibatnya, TPT lokal tidak dapat terserap di pasar domestik. 

Berdasarkan data yang dihimpun Kontan.co.id, hingga Agustus ada sekitar 1,5 juta bal benang dan 970 juta meter kain stok yang menumpuk di gudang karena tidak terjual. Adapun sejauh ini sudah ada sembilan perusahaan tekstil lokal yang terpaksa gulung tikar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×