Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi petani sawit yang tergabung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) meminta Presiden Jokowi untuk melanjutkan moratorium sawit. POPSI meminta Presiden Jokowi untuk memperpanjang Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang evaluasi izin dan peningkatan produktivitas atau moratorium sawit.
Ketua Umum POPSI, Pahala Sibuea mengatakan, total luasan perkebunan sawit Indonesia seluas 16,38 juta hektar (ha) saat ini. Produksi crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah setiap tahunnya mengalami over stock CPO dikisaran 4,5 juta - 5 juta ton per tahun.
"Untuk itu moratorium sawit harus dilanjutkan, untuk mengerem pembukaan lahan baru perkebunan sawit," kata Pahala dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/6).
POPSI meminta Pemerintah fokus pada peningkatan produktifitas petani sawit. Salah satunya melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang dinilai sudah tepat dilakukan.
Baca Juga: Ini rencana bisnis Triputra Agro Persada (TAPG) di tahun 2021
Setelah PSR, petani diperkirakan bisa memiliki produktifitas 20 ton - 25 ton/ TBS (tandan buah segar) per tahunnya. Sebelumnya, produktifitas petani hanya kisaran 10 ton sampai 15 ton per tahunnya. Artinya akan ada tambahan produksi sawit Indonesia dari petani yang cukup signifikan.
"Dengan program PSR dan bila tidak ada moratorium sawit, maka akan terjadi boom lompatan produksi CPO yg akan menambah over stock di tahun 2023 nanti, mungkin menjadi dua kali lipat dari over stock setiap tahunnya" ujar dia.
Bila hal tersebut tidak diantisipasi, POPSI menilai akan berdampak besar terhadap petani sawit. Salah satunya akan membuat harga TBS petani ke depan bisa turun drastis. "Bahkan bisa jadi PKS (perjanjian kerjasama) milik pengusaha tidak akan menerima TBS dari petani," ucap dia.
Selain meminta untuk memperpanjang Inpres No 8 tahun 2018 tentang moratorium, POPSI meminta pemerintah mempertegas beberapa hal dalam melanjutkan moratorium sawit. Pertama, secara bersama berhenti melakukan deforestasi dan optimalkan kerjasama dengan petani swadaya melalui peningkatan produktivitas petani dan pembelian langsung ke petani.
Kedua, melakukan penanganan rendahnya harga jual dengan menghilangkan biaya ekonomi tinggi di lapangan dan menjadikan petani swadaya menjadi salah satu sumber pasokan program pemerintah seperti B30 secara transparan dan berkelanjutan.
Ketiga, membantu petani kelapa sawit swadaya untuk pemetaan, revitalisasi kelembagaan, dan legalisasi lahan. Dengan upaya ini, petani akan memperoleh ISPO dan sawit rakyat Indonesia ada kepastian legalitas untuk menjadi bagian sustainable palm oil.
Keempat, kejelasan dan kepastian data, kelembagaan dan legalitas akan memudahkan petani mengakses pendanaan baik dari lembaga keuangan dan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit)
Kelima, Kementerian/Lembaga terkait agar dapat membantu petani swadaya dalam mengambil bagian dari revitalisasi perkebunan kelapa sawit. Sebagai ilustrasi, BPDPKS membantu pendanaan dan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membantu penyertifikatan (sebagai bagian dari program reformasi agraria).
Kemudian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk penyelesaian tumpang tindih lahan petani swadaya dengan kawasan hutan. Serta Kementerian Pertanian, melakukan pendataan Bersama Dinas Perkebunan Kabupaten dan melakukan penguatan SDM petani sawit secara luas.
Keenam, para pihak memberikan dukungan untuk berkolaborasi bersama petani swadaya Indonesia dengan prinsip kemitraan yang adil dan berkelanjutan serta menyejahterakan petani.
Ketujuh, mempertimbangkan ulang besaran pungutan sawit yang diregulasikan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan di kelola oleh BPDPKS agar tidak menggerus harga TBS di tingkat petani plasma maupun petani swadaya.
Semestinya, perlu memperhatikan aspirasi para petani sawit yang terasosiasi dalam POPSI sebab pungutan sawit sebesar US$175 - US$250 per ton CPO akan menggerus Harga TBS petani secara tajam.
Kedelapan, pendanaan peremajaan sawit rakyat untuk meningkatkan produktivitas perkebunan, harus didukung 100% pembiayaannya dari BPDPKS dengan prosedur birokrasi pendanaan yang mudah dan transparan.
Selain itu, perusahaan mitra yang menjadi offtaker diberi wewenang atau diharuskan menyediakan bibit bagi kelompok tani/koperasi yang menjadi mitra binaan agar bibit yang digunakan berkualitas. Dana PSR bagi petani seharusnya cukup untuk biaya mulai Po sampai P3 tergantung kondisi lahan replanting baik lahan mineral atau gambut.
Sebagai informasi, POPSI telah menyurati Presiden Jokowi agar memperpanjang Inpres No 8 tahun 2018 tentang evaluasi izin dan peningkatan produktivitas atau moratorium sawit. POPSI terdiri dari Serikat Petani kelapa Sawit (SPKS), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Perjuangan, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (ASPEKPIR) dan Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (JaPSBI).
Selanjutnya: Belum diatur, tata niaga minyak jelantah mengacu ke regulasi minyak goreng sawit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News