kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,64   6,79   0.75%
  • EMAS1.395.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.17%
  • RD.CAMPURAN 0.09%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.03%

Aspek Keekonomian Jadi Kunci Keberhasilan Bisnis CCS/CCUS di Indonesia


Minggu, 22 Oktober 2023 / 13:41 WIB
Aspek Keekonomian Jadi Kunci Keberhasilan Bisnis CCS/CCUS di Indonesia
ILUSTRASI. Pemerintah masih mengkaji opsi skema monetisasi atau komersialisasi proyek penyimpanan karbon.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah masih mengkaji opsi skema monetisasi atau komersialisasi proyek penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) di Indonesia. Pengamat menilai, salah satu kunci supaya proyek ini bisa sukses ialah aspek keekonomian dan bisnis yang menarik. 

Indonesia sudah memiliki modal yang kuat menjadi CCS Hub di Kawasan Regional berupa potensi penyimpanan karbon yang mencapai 400 giga ton CO2. Saat ini sudah ada 15 proyek sedang dirancang dan diperkirakan mampu menyimpan karbon sebanyak 4,31 giga ton CO2

Founder dan Advisor ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, saat ini teknologi CCS/CCUS relatif sudah tersedia di tingkat global. Pelaku usahanya pun juga sebagian besar sama dengan pengusaha hulu migas global yakni International oil companies (IOCs). 

Dia mengakui, potensi investasi CCS/CCUS di Tanah Air sangat besar. Tetapi belum tentu alokasi investasi dari para perusahaan besar otomatis masuk ke sektor ini. Pasalnya, investor akan selalu mendasarkan keputusan investasinya pada skala prioritas sesuai strategi korporasi denga  parameter utamanya adalah seberapa menarik dari sisi keekonomian. 

“Dalam hal penerapan CCS/CCUS di Indonesia ini isunya lebih kepada aspek atau hitung-hitungan bisnis dan keekonomian. Jika diterapkan di Indonesia bagaimana para pelaku atau investor mendapatkan pengembalian investasinya yang wajar,” kata dia kepada Kontan.co.id.

Baca Juga: Harga Listrik PLTU yang Gunakan CCS Bisa Mahal, Pemerintah Masih Kaji Opsi Terbaik

Maka itu, pada dasarnya pemerintah semestinya membuat skema pengembangan CCS/CCUS di Indonesia sama dengan menarik investasi di hulu migas. 

Namun dia menilai, saat ini regulasi CCS/CCUS baru sebatas memberikan sinyal bahwa investasi pada teknologi ini bisa dianggap sebagai bagian biaya operasi perminyakan. Maka itu, masih diperlukan mekanisme kajian dan persetujuan untuk memenuhinya. 

“Artinya, bagi investor, tetap masih menyisakan sinyal ketidakpastian. Mestinya, regulasi yang ada sudah bisa lebih tegas mengatur bahwa CCS/CCUS yang diterapkan di WK operasi upstream, otomatis itu adalah bagian dari operasi, dan investasinya adalah biaya operasi perminyakan tersebut,” kata dia. 

Cara itu akan memberi kepastian lebih bagi investor. Misalnya saja, dengan sistem production sharing contract (PSC) cost recovery yang ada, sehingga proyek CCS/CCUS  akan menjadi menarik. 

Baca Juga: Industri Non-Migas Menanti Teknologi Penangkapan Karbon (CCS/CCUS)

Pembinaan Usaha Hulu Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Noor Arifin Muhammad menjelaskan, sejauh ini pemerintah masih menggodok skema monetisasi atau komersialisasi dalam pengembangan proyek penyimpanan karbon. 

“Ini masih rancangan ya, tetapi kalau nanti jadi, arahnya akan diterapkan storage fee (biaya penyimpanan) dan carbon trading. Tetapi carbon trading ada di luar hulu dan bagaimana menghitungnya belum diputuskan,” kata dia, Selasa (10/10). 

Arifin menjelaskan, jika aturan sudah rampung, maka karbon yang diinjeksi di dalam ruang penyimpanan akan dipungut biaya. Namun pihak yang menentukan dan besaran biaya belum ditetapkan, apakah pemerintah atau perusahaan sebagai pemilik Wilayah Kerja (WK).  

Baca Juga: Pertamina dan Petronas Resmi Gantikan Shell di Blok Masela

Yang terang, dalam pelaksanaannya nanti, pemerintah akan mengacu pada PSC. “Apakah nanti dia royalti ke negara, bisa juga PSC kontrak bagi hasil. Cuma kecenderungan diskusi sepertinya royalti, tetapi belum fix,” imbuh Arifin. 

Berkaca dari teori yang ada dan pengalaman di Eropa, Arifin menjelaskan, pemanfaatan CCS akan ramai diminati ketika suatu negara menetapkan biaya pajak karbon yang tinggi. Jadi badan usaha lebih memilih untuk menyimpan karbonnya, ketimbang membayar pajak yang mahal. 

Dia bilang, penetapan pajak karbon ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi otoritas perpajakan alias Kementerian Keuangan. 

“Nantinya potensi keuntungan bagi negara akan tergantung pada pajak karbon, biaya penyimpanan (storage fee), dan perdagangan karbon. Oleh negara itu selalu dipesankan kepentingan negara nomor satu,” imbuhnya. 

Baca Juga: Kebutuhan Investasi Naik Karena Perubahan Iklim, Pemerintah Perlu Pasang Kuda-Kuda

Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf menjelaskan, masih banyak proyek-proyek CCS maupun CCUS yang sedang dalam tahap studi dan uji coba.  

Dari sisi manajemen operasional, SKK Migas sedang menyusun pedoman prosedur CCS/CCUS untuk penerapan yang terintegrasi dengan lapangan migas, plan of development (PoD), dan manajemen karbon. 

“Indonesia memiliki banyak lapangan tua yang berpotensi menjadi lokasi penyimpanan karbon,” ujar dia. 

Nanang menegaskan, potensi yang menjanjikan ini hanya bisa dilaksanakan dengan aksi konkret dan membutuhkan dukungan dari semua stakeholders di industri migas. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×