Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
Bambang mengakui, kebijakan DMO masih terganjal sejumlah kendala dan memang rentan mengundang persoalan. Namun, Bambang menyatakan bahwa kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan energi nasional, khususnya untuk kelistrikan.
Mengenai besaran, Bambang tak menampik bahwa memang sulit untuk mencapai persentase volume yang ideal. Ia menyadari persentase yang diwajibkan selalu lebih tinggi dari proyeksi kebutuhan.
Bambang bilang, hal itu dimaksudkan agar ketersediaan batubara domestik bisa tetap terjaga, serta untuk mengantisipasi pertumbuhan kebutuhan bagi industri maupun kebutuhan pembangkit listrik.
Baca Juga: Menteri ESDM: Program 35.000 MW selesai tiga tahun ke depan
"Untuk membuat adil bagi semua memang sulit. Tapi ya kita ingin fair. Itu dalam rangka menjaga pasokan, menjaga pertumbuhan energi dari pembangkit yang terus naik," ujar Bambang.
Asal tahu saja, pada tahun lalu, realisasi DMO sebesar 115,09 juta ton, lebih rendah dari target yang dipatok sebesar 121 juta ton. Serapan batubara domestik paling tinggi ialah untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sekitar 80%dari total realisasi DMO.
Adapun, Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, hingga pertengahan November 2019, realisasi DMO batubara baru tercatat sebesar 85,47 juta ton atau 66,75% dari target DMO tahun ini sebesar 128,04 juta ton.
Baca Juga: Waduh! Risiko Pembiayaan Utang Emiten Batubara Meningkat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News