Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan merevisi sanksi terkait wajib pasokan batubara dalam negeri alias domestic market obligation (DMO). Sehingga pada tahun 2020 nanti, bentuk sanksi yang akan dikenakan tidak lagi berupa penyesuaian kuota produksi.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, pada tahun ini pihaknya sulit menerapkan sanksi penyesuaian produksi. Sebab, dalam penyesuaian produksi ada pertimbangan terhadap dampak sosial, pengurangan tenaga kerja, pendapatan daerah hingga penerimaan negara.
Baca Juga: Kata pebisnis mengenai rencana kelanjutan DMO batubara tahun depan
Bambang bilang, saat ini pihaknya tengah mengkaji sanksi tersebut bersama stakeholders terkait. "Dalam faktanya itu nggak bisa, sulit diterapkan. Mungkin tahun depan beda sanksinya, kami cari formula baru. Dalam kebijakan selalu kami bicarakan dengan asosiasi dan perusahaan," kata Bambang, Rabu (20/11).
Asal tahu saja, pada tahun lalu ada 34 perusahaan pertambangan batubara yang tidak memenuhi kewajiban DMO yang dipatok sebesar 25% dari total produksi.
Para produsen batubara itu berasal dari pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP).
Baca Juga: Tahun Depan Porsi DMO Batubara Tetap 25%, Harga Masih dievaluasi premium
Terganjal kendala
Sesuai ketentuan yang berlaku, Kementerian ESDM akan menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang tidak memenuhi DMO 25% tersebut. Sanksinya berupa penyesuaian produksi untuk tahun berikutnya, dengan perhitungan kuota produksi yang diberikan hanya sebesar empat kali dari realisasi DMO tahun 2018 masing-masing perusahaan.
Bambang mengakui, kebijakan DMO masih terganjal sejumlah kendala dan memang rentan mengundang persoalan. Namun, Bambang menyatakan bahwa kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan energi nasional, khususnya untuk kelistrikan.
Mengenai besaran, Bambang tak menampik bahwa memang sulit untuk mencapai persentase volume yang ideal. Ia menyadari persentase yang diwajibkan selalu lebih tinggi dari proyeksi kebutuhan.
Bambang bilang, hal itu dimaksudkan agar ketersediaan batubara domestik bisa tetap terjaga, serta untuk mengantisipasi pertumbuhan kebutuhan bagi industri maupun kebutuhan pembangkit listrik.
Baca Juga: Menteri ESDM: Program 35.000 MW selesai tiga tahun ke depan
"Untuk membuat adil bagi semua memang sulit. Tapi ya kita ingin fair. Itu dalam rangka menjaga pasokan, menjaga pertumbuhan energi dari pembangkit yang terus naik," ujar Bambang.
Asal tahu saja, pada tahun lalu, realisasi DMO sebesar 115,09 juta ton, lebih rendah dari target yang dipatok sebesar 121 juta ton. Serapan batubara domestik paling tinggi ialah untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sekitar 80%dari total realisasi DMO.
Adapun, Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, hingga pertengahan November 2019, realisasi DMO batubara baru tercatat sebesar 85,47 juta ton atau 66,75% dari target DMO tahun ini sebesar 128,04 juta ton.
Baca Juga: Waduh! Risiko Pembiayaan Utang Emiten Batubara Meningkat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News