Reporter: Tantyo Prasetya | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - Sedikitnya 14 poin dalam PM 26 Tahun 2017 yang menjadi payung hukum bagi penyelenggaraan Taksi Online dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh Mahkamah Agung (MA) karena tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dengan begitu, poin-poin yang mengatur sejumlah aturan, termasuk tarif batas atas dan bawah, dikembalikan kepada skema pasar.
Padahal peraturan tersebut diharapkan mampu menjaga persaingan industri transportasi antara taksi berbasis aplikasi dengan taksi reguler atau argo. Menanggapi gugurnya peraturan tersebut, PT Blue Bird Tbk (BIRD) sebagai salah satu pelaku industri taksi berbasis argo angkat bicara.
Menurut Michael Tene, selaku Head of Investor Relation Blue Bird, aturan tersebut tadinya mampu menciptakan kesetaraan dalam kompetisi bisnis transportasi.
"Tentunya kita berharap pemerintah dapat hadir untuk menciptakan same level playing field yang mendukung persaingan sehat dan mengutamakan keselamatan penumpang," terang Tene kepada KONTAN di Jakarta, Selasa (22/8).
Tene menambahkan, BIRD sebagai pelaku taksi argo bersama perusahaan sejenis, selama ini selalu menaati aturan yang berlaku. Berbeda dengan pelaku taksi online, yang dinilai kerap melanggar aturan.
"Kalau dilihat sejarah aturan mengenai taksi online dari Permenhub 32 hingga berganti menjadi Permenhub 26, implementasi dari aturan-aturan tersebut sangat minim dan taksi online tetap beroperasi di luar aturan, bahkan sebelum keputusan MA ini dikeluarkan. Jadi, bagi kami tidak ada perubahan dalam iklim kompetisi baik sebelum maupun sesudah keputusan MA keluar," tambah Tene.
Dengan gugurnya aturan tersebut, status taksi online yang sebelumnya Angkutan Sewa Khusus kembali abu-abu. Ateng Ariyono, selaku Sekjen DPP Organda melihat ke depannya ada dua kemungkinan. Salah satunya mendaftar jadi angkutan sewa umum dengan menggunakan plat kuning.
"Atau mau jadi angkutan liar yang boleh diuber-uber untuk ditertibkan," terang Ateng. Artinya, dengan gugurnya aturan tersebut dapat merugikan para mitra pengemudi taksi online karena statusnya yang tidak jelas.
Selain itu, Ateng menambahkan, gugurnya aturan tersebut juga dinilai dapat merugikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan selaku regulator dan masyarakat sebagai konsumen.
"Pertama, yang dirugikan ya Kemenhub, sudah buat aturan malah diobok-obok. Kedua, tentu masyarakat karena tidak boleh naik angkutan yang legal atau terjamin kan?," tambah Ateng.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News