Reporter: Gentur Putro Jati, Fitri Nur Arifenie |
JAKARTA. Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) membawa berkah investasi bagi Indonesia. Maklum, pasal 110 dan 117 UU tersebut mewajibkan seluruh perusahaan tambang mineral untuk memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri paling lambat 5 tahun sejak aturan itu diundangkan.
Sekretaris Ditjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Witoro S Soelarno mencatat setidaknya ada tujuh pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) baru yang akan dibangun di Indonesia. Dengan estimasi nilai proyek yang sangat fantastis, US$ 6,77 miliar.
"Dari tujuh proyek smelter itu, lima diantaranya dibangun PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM). Sementara dua lainnya akan dibangun oleh PT Nusantara Smelting dan PT Freeport Indonesia (FPI)," kata Witoro kepada KONTAN, Selasa (24/8).
Data status pengembangan investasi smelter yang mampir ke meja KONTAN menyebutkan, dua dari lima proyek ANTAM masih dikaji skema pembangunannya. Keduanya adalah proyek smelter bijih nikel menjadi feronikel di Halmahera, Maluku dengan kapasitas 27.000 ton Ni per tahun.
"Status terakhir ANTAM sudah melakukan review feasibility study (FS) dan financial model, melakukan sampling pit test dan industrial test. Proyek senilai US$ 1,4 miliar itu ditargetkan mulai produksi komersial pada 2014," sambung Witoro.
Proyek lain yang masih dipikirkan perseroan skema pembangunannya adalah smelter bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) di Mandiodo, Sulawesi Tenggara berkapasitas 120.000 ton per tahun. Untuk proyek senilai US$ 140 juta itu, ANTAM sudah merampungkan FS dan menargetkan produksi komersial pada 2014.
Tiga proyek smelter ANTAM lain yang sudah lebih jelas skema pembangunannya adalah smelter bauksit menjadi chemical grade alumina di Tayan, Kalimantan Barat berkapasitas 300.000 ton per tahun. Perusahaan yang dipimpin Alwin Syah Lubis itu bekerjasama dengan Showa Denko dan Marubeni Corporation asal Jepang dengan kepemilikan saham 65% oleh BUMN pertambangan itu. Status terakhir dari proyek senilai US$ 400 juta itu, ANTAM sedang melakukan financing process dan negosiasi dengan EPC Contractor sehingga smelter itu bisa berproduksi komersil pada 2014.
Lalu ada proyek pengolahan bauksit menjadi smelter grade alumina (SGA) senilai US$ 1 miliar berkpasitas 1 juta metrik ton per tahun. Untuk proyek yang terletak di Mempawah, Kalimantan Barat itu ANTAM bekerjasama dengan Hangzhou Jinjiang Group asal China dengan kepemilikan 51% ditangan mitra. Kedua perusahaan tengah merampungkan due diligence dan financing, pemilihan kontraktor EPC sehingga bisa berproduksi 2014.
Proyek smelter terakhir yang dikerjakan ANTAM adalah pengolahan bijih besi menjadi besi spons di Batu Licin, Kalimantan Selatan senilai US$ 130 juta. Untuk membangun smelter berkapasitas 315.000 ton per tahun itu, ANTAM memegang 31,02% saham, PT Krakatau Steel (Persero) 60,22% dan Pemprov Kalimantan Selatan 8,76%.
"Untuk yang terakhir ini mereka sudah memulai pembangunan pabriknya dan ditargetkan mulai produksi komersial pada 2011," ujar Witoro.
Meskipun berencana membangun lima proyek, namun investasi smelter milik ANTAM masih kalah dibandingkan yang akan dibangun FPI di Papua. Perusahaan asal Amerika Serikat itu menanamkan US$ 3 miliar untuk membangun pengolahan bijih tembaga berkapasitas 250.000 ton bijih per hari. Proyek itu sendiri merupakan ekspansi pabrik pengolahan yang sudah dimiliki FPI untuk mengantisipasi produksi dari tambang bawah tanah. Smelter tambahan itu mulai dibangun tahun ini dengan target selesai 2024.
Sementara, Nusantara Smelting membutuhkan waktu tiga tahun mulai 2011 sampai 2014 untuk membangun smelter pengolahan tembaga di Bontang, Kalimantan Timur senilai US$ 700 juta. Smelter itu didesain untuk menghasilkan beragam produk turunan tembaga. Yaitu copper cathode 200.000 ton per tahun, 360.000 ton per tahun copper slag, 70.000 ton per tahun gypsum, 635.000 ton per tahun sulphuric acid dan 40.000 ton per tahun anode slime. Sayangnya Nusantara Smelting belum menyampaikan skema pembangunan smelter tersebut ke pemerintah.
"Kami juga masih menunggu konfirmasi dari PT INCO yang ingin membangun smelter. Karena itu rencana investasi smelter itu masih bisa bertambah lagi," pungkas Witoro.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News