Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah ruas tol di Indonesia kembali menjadi sorotan akibat rendahnya volume lalu lintas meski telah beroperasi penuh. Tingginya tarif dan kurangnya konektivitas dengan jalur distribusi menjadi kendala utama rendahnya penggunaan tol.
Masalah ini mencuat setelah Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengungkapkan bahwa terdapat 21 ruas jalan tol di Indonesia dengan tingkat trafik di bawah 50% dari asumsi yang tercantum dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Data tersebut merujuk pada realisasi tahun 2024.
Menurut M. M. Gibran Sesunan, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Infrastruktur Strategis (PUKIS), persoalan utama justru terletak pada perencanaan pemerintah sendiri. Ia menilai studi kelayakan (feasibility study) yang menjadi dasar pembangunan tol selama ini terlalu optimistis dan tidak realistis terhadap kondisi ekonomi serta pola mobilitas masyarakat.
“Optimisme yang berlebihan membuat proyeksi lalu lintas dalam studi kelayakan tidak sesuai dengan kenyataan. Akibatnya, banyak proyek yang akhirnya merugi dan sulit memenuhi standar pelayanan minimum,” ujar Gibran dalam keterangannya dikutip Mimggu (9/11/25).
Baca Juga: Trafik Sejumlah Ruas Tol Masih Sepi, Hutama Karya: Kinerja Konsolidasi Tak Terganggu
Ia juga menyoroti tingginya tarif tol sebagai penyebab utama rendahnya jumlah pengguna. Misalnya, tarif untuk kendaraan golongan I di Tol Manado–Bitung mencapai Rp1.200 per kilometer sekali jalan.
Angka tersebut dinilai terlalu mahal dan membebani sektor logistik maupun transportasi barang. Kondisi serupa juga terjadi di Tol Bengkulu–Taba Penanjung, Krian–Legundi–Bunder–Manyar, Kanci–Pejagan, serta beberapa ruas tol lain yang sama-sama sepi pengguna.
Padahal, sejumlah tol tersebut dibangun dengan tujuan mendukung aktivitas logistik. Namun, kenyataannya, infrastruktur yang ada belum mampu memberi nilai tambah bagi rantai pasok nasional. Peningkatan akses logistik seharusnya bisa menjadi penggerak utama konektivitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan nasional.
Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi dari berbagai ruas tol yang sudah beroperasi belum dimanfaatkan secara optimal. Lemahnya koordinasi dan pengawasan dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) di bawah Kementerian Pekerjaan Umum juga dinilai menjadi salah satu penyebab.
Baca Juga: Mulai Dibangun Akhir 2026, Tol Bogor-Serpong senilai Rp 12,35 Triliun Tak Pakai APBN
Hingga kini belum ada langkah nyata untuk menurunkan tarif atau meninjau ulang model bisnis tol-tol yang gagal menarik pengguna. Jika dibiarkan, rendahnya volume lalu lintas di 21 ruas tol tersebut bisa menjadi “bom waktu”, karena investor kesulitan mengembalikan modal, yang pada akhirnya menghambat proyek tol baru dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo mengatakan, pemerintah sedang berupaya mengintegrasikan pembangunan infrastruktur melalui konsep koridor logistik nasional. Namun, langkah ini dinilai belum menyentuh akar persoalan, karena banyak tol baru yang dibangun tanpa koneksi memadai ke kawasan industri, pelabuhan, atau pusat ekonomi. “Tanpa integrasi wilayah dan kebijakan tarif yang berpihak pada pengguna, pembangunan tol hanya akan menjadi monumen beton,” ujar Gibran.
Para pengamat menilai, pemerintah perlu segera melakukan audit terhadap BPJT dan meninjau kembali asumsi bisnis proyek-proyek tol, agar investasi besar yang sudah dikeluarkan benar-benar memberi manfaat ekonomi, bukan sekadar menambah daftar panjang jalan tol yang sepi pengguna.
Selanjutnya: Bantuan Tunai Rp31,5 Triliun Perkuat Belanja Masyarakat Jelang Momen Nataru
Menarik Dibaca: Tanaman Herbal untuk Obat Sakit Perut, Redakan Nyeri dengan Pengobatan Rumahan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













