kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Baru disahkan, mengapa UU Minerba digugat ke Mahkamah Konstitusi?


Sabtu, 11 Juli 2020 / 18:30 WIB
Baru disahkan, mengapa UU Minerba digugat ke Mahkamah Konstitusi?


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum seumur jagung, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sudah resmi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para penggugat mengajukan uji formil yang berkasnya telah diserahkan ke MK pada Jum'at (10/7) pukul 13.54 siang tadi.

Ahmad Redi, selaku Ketua Tim Kuasa Hukum, mengungkapkan bahwa uji formil ini dilakukan lantaran para pemohon gugatan menilai proses pembentukan dan pembahasan UU Nomor 3 Tahun 2020 melanggar sejumlah ketentuan. "Terbentuknya UU No. 3 Tahun 2020 ini mengandung potensi moralitas pembentukan hukum, baik formil maupun materiil yang jahat bagi pembangunan nasional di bidang pertambangan mineral dan batubara," kata Redi ke Kontan.co.id, Jum'at (10/7).

Redi membeberkan, ada delapan alasan pengajuan permohonan judicial review melalui uji formil ini. Pertama, sejak awal pembahasan Rancangan UU Minerba (RUU) ini menuai masalah dan kontroversial. Para penggugat menilai pembahasannya sangat dipaksakan dan terburu-buru.

"Tampak jelas bahwa pembahasan RUU ini tidak untuk kepentingan rakyat, namun untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, khususnya sebagian pelaku usaha pertambangan batubara," sebut Redi.

Baca Juga: Baru sebulan diundangkan, UU Minerba sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi

Kedua, RUU Minerba tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya alias carry over. RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR yang telah disusun drafnya sejak DPR periode 2014-2019 dan hingga masa jabatan berakhir pada September 2019 belum dilakukan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba.

Padahal, kata Redi, berdasarkan Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM. "DPR periode lalu belum satupun membahas DIM RUU Minerba," sambungnya.

Ketiga, pembahasan RUU minerba dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di gedung DPR. Padahal pembahasan RUU dilakukan melalui rapat kerja dan rapat panitia kerja (Panja) yang seharusnya terbuka untuk umum. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Menurut Redi, hal itu melanggar azas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

"Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan," ujar Redi.

Keempat, upaya untuk melanjutkan pembentukan RUU Minerba pada DPR periode 2019-2024 saat ini dilakukan dengan proses "kilat" dan tanpa keterlibatan publik. Para penggugat pun menilai pembahasan RUU minerba sangat dipaksakan.

Meski dengan materi yang sangat banyak, terdiri dari 938 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan lebih dari 80% materi perubahan, namun hanya dibahas dalam waktu sekitar 2 minggu. "Dilakukan secara tertutup di hotel tanpa adanya partisipasi masyarakat maupun stakeholder," kata Redi.

Selain itu, RUU Minerba ditetapkan dan dilakukan pengambilan keputusan oleh DPR dan Pemerintah saat pandemi wabah Covid-19, dan pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan oleh pemerintah di bulan April-Mei 2020.

Baca Juga: Lewat UU no 3/2020, pemerintah ingin perbaiki tata kelola pertambangan rakyat

Kelima, pembahasan RUU Minerba dinilai tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder. Padahal, regulasi ini terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Menurut Redi, dalam pembahasan RUU Minerba tidak terdapat audiensi dengan stakeholder, penerimaan aspirasi dari kelompok masyarakat, tidak melibatkan pakar dan perguruan tinggi, tidak dilaksanakan rapat dengar pendapat umum, serta tidak ada pengambilan aspirasi ke daerah.

"Bahkan beberapa kelompok masyarakat dan perguruan tinggi yang mengajukan permohonan audiensi untuk memberikan masukan diabaikan," sebutnya.

Keenam, pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Redi mengatakan, berdasarkan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 dan Putusan MK No. 92/PPU-X/2012, DPD memiliki kewenangan membahas RUU yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.

"Sehingga pembahasan RUU Minerba secara konstitusional harus dibahas dengan melibatkan DPD. Pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan DPD jelas pelanggaran terhadap UUD NRI 1945 dan inkonstitusional," terang Redi.

Baca Juga: Hilirisasi pertambangan banyak yang tertunda, berikut alasannya

Ketujuh, pengambilan keputusan Tingkat I pada rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM yang mewakili Pemerintah pada tanggal 11 Mei 2020 dilakukan secara virtual dan pengambilan keputusan Tingkat II dalam rapat paripurna pada tanggal 12 Mei 2020 juga dilakukan secara virtual, yaitu tanpa kehadiran fisik atau kehadiran fisik anggota DPR dilakukan secara perwakilan fraksi.

Kedelapan, Memaksakan rapat pengambilan keputusan atas RUU Minerba tidak sensitif terhadap wabah virus Covid-19. "Bahwa benar RUU Minerba penting, namun saat ini ada yang jauh lebih penting dan gawat yaitu penanganan virus Covid 19. Seharusnya Pemerintah dan DPR fokus untuk segera mengatasi wabah Covid 19," ujar Redi.

Ada sejumlah pemohon yang mengajukan gugatan, terdiri dari tokoh-tokoh yang bergerak di berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari gubernur, mantan pejabat, pakar pertambangan hingga aktivitas mahasiswa. Dalam gugatan ini, paling tidak ada 10 pengacara yang tergabung dalam tim kuasa hukum pemohon.

Adapun pemohon gugatan UU Minerba baru itu antara lain: Erzaldi Rosman Djohan (Gubernur Kepulauan Bangka Belitung), Alirman Sori (Ketua PPUU DPD RI), Tamsil Linrung (anggota DPD RI), Hamdan Zoelva (Perkumpulan Serikat Islam), Marwan Batubara (Indonesian Resources Studies/IRESS), Budi Santoso (Indonesia Mining Watch/IMW), Ilham Rifki Nurfajar (Sekjen Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan), dan M. Andrean Saefudin (Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia).

Baca Juga: Meleset, Kementerian ESDM hanya targetkan 2 smelter baru yang beroperasi tahun ini

Menurut salah satu penggugat, Gubernur Kepualauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan, UU Minerba ini mengandung materi muatan yang menegasikan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kewenangan pertambangan minerba. Sebab, seluruh kewenangan ditarik ke Pemerintah Pusat.

"Ini bentuk pendegradasian Pasal 18 dan Pasal 18A UUD NRI 1945 dan semangat Reformasi 1998 yang mendudukan pemerintahan daerah sebagai daerah otonom yang menolak kekuasaan yang sentralistik," sebutnya lewat keterangan tertulis.

Redi bilang, setelah mendaftar, paling lambat 14 hari sidang akan dimulai. Saat ini pihaknya sedang menunggu jadwal sidang pemeriksaan pendahuluan.

Dengan delapan alasan itu, para pemohon pun siap berdebat dan memaparkan pandangan di sidang MK. "Untuk itu, beberapa warga negara mengajukan pengujian formil UU No. 3 Tahun 2020 ke MK agar UU ini dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Redi.

Seandainya uji formil ini tak dikabulkan mahkamah, Redi menyatakan bahwa pihaknya siap kembali melakukan judicial review melalui uji materil, atau menggugat substansi dari UU Minerba baru tersebut. "Betul, kalau uji formil ditolak, akan uji materiil," pungkasnya.

Asal tahu saja, UU Nomor 3 Tahun 2020 merupakan UU Minerba yang baru, menggantikan UU No. 4 Tahun 2009. UU Minerba baru itu disahkan, dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020. Kemudian diundangkan di hari yang sama oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Sejak penyusunannya, perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 ini memang kontroversial. Meski banyak penolakan, DPR dan Pemerintah tetap melanjutkan pembahasan hingga akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 12 Mei 2020.

Baca Juga: UU Minerba yang baru mewajibkan perusahaan tambang setor dana ketahanan cadangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×