Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
"(Pengelolaan tambang dan produksi) harus dilakukan untuk lebih pararel dengan arah pembangunan ekonomi nasional. Tanpa menarik ke pusat, tata kelola tambang menjadi tidak mudah," ujar Singgih.
Dalam hal ini, Singgih menekankan bahwa pekerjaan rumah prioritas yang harus dituntaskan ialah terkait kelanjutan jumlah pemegang IUP OP. Menurutnya, hal ini mendesak untuk dibicarakan sebab terkait dengan tingkat produksi nasional yang juga mempengaruhi rantai pasok dan harga pasar.
Namun, kontrol terhadap IUP OP itu juga harus mempertimbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar tidak terganggu. "Jadi ada kepentingan PAD, makro ekonomi dan industri. Namun, poin pengawasan atas operasi penambangan menjadi hal terpenting untuk lebih dipahami pemerintah," sebut Singgih.
Baca Juga: Target Airlangga Hartarto RUU Cipta Kerja disahkan EoDB RI naik ke 51
Sebagai gambaran, dalam komoditas batubara, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono sebelumnya mengakui bahwa pihaknya kesulitan untuk mengendalikan produksi batubara.
Bambang bilang, perusahaan yang memegang IUP OP terus meningkat, seiring dengan kewenangan pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin sebagaimana yang diatur dalam rezim otonomi daerah. Menurutnya, hal itu lah yang menjadi salah satu penyebab realisasi produksi batubara selalu meroket dari target.
Sebagai informasi, realisasi produksi batubara sepanjang tahun 2019 mencapai 616 juta ton. Padahal, target awal produksi batubara dipatok di angka 489,12 juta ton.
Pada tahun 2018, target awal ditetapkan 485 juta ton. Tapi, realisasi produksi di tahun itu menanjak menjadi 557 juta ton. Menurut data dari Kementerian ESDM, pada tahun 2018 produksi batubara dari IUP daerah mencapai 211,27 juta ton atau 37,92% dari total produksi nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News