kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Begini catatan pengamat soal wacana sentralisasi perizinan tambang di omnibus law


Selasa, 18 Februari 2020 / 19:22 WIB
Begini catatan pengamat soal wacana sentralisasi perizinan tambang di omnibus law
ILUSTRASI. UU Cipta Kerja (omnibus law) memantik kontroversi. REUTERS/Jim Urquhart/File Photo


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 alias UU Mineral dan Batubara (Minerba) di dalam Rancangan UU Cipta Kerja (omnibus law) memantik kontroversi. Salah satu wacana yang menjadi sorotan ialah soal pengalihan kewenangan pemerintah daerah (Pemda) ke pemerintah pusat dalam perizinan dan pengelolaan tambang.

Terkait hal ini, Direktur Center for Indonesian Resources Strategic (CIRUS) Budi Santoso mengatakan bahwa perizinan dan pengelolaan tambang tidak dapat seluruhnya desentralisasi ke pemerintah pusat. Kendati begitu, desentralisasi yang ada saat ini mesti dievaluasi.

Baca Juga: Wacana sentralisasi perizanan tambang, semua kewenangan daerah diambil alih pusat?

Budi menilai, pemerintah seharusnya membuat dulu klasifikasi, mana saja barang tambang yang tergolong vital dan strategis. Menurutnya, hal itu dibutuhkan untuk memetakan barang tambang mana saja yang akan dikelola sebagai sumber energi, dan yang akan diolah untuk bahan baku industri.

Budi mengatakan, ada beberapa barang tambang yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak seperti batubara, nikel, besi, tembaga dan aluminium. "Yang masuk dalam vital dan strategis harus perizinan pusat karena berkaitan dengan kepentingan negara dan nasional yang lebih besar," kata Budi kepada Kontan.co.id, Selasa (18/2).

Dengan sentralisasi, imbuhnya, pengawasan dan pengelolaan akan lebih efektif. Selain itu, pengaturan tingkat produksi dapat lebih terkontrol dan disesuaikan dengan rencana strategis nasional.

"Pengalihan ke pusat bisa memotong beberapa birokrasi dan hambatan lain. Produksi dapat disesuaikan dengan rencana nasional karena ijin yang dikeluarkan juga disesuaikan dengan kepentingan nasional," ungkap Budi.

Baca Juga: Chatib Basri sarankan pemerintah lakukan uji coba program kartu prakerja

Namun, kata Budi, peran daerah tidak bisa dilepaskan dalam membantu proses pengawasan, kepatuhan lingkungan dan koordinasi masalah pengembangan masyarakat. "Peran daerah tetap diperlukan, tidak bisa dilepaskan," sebutnya.

Senada dengan itu, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai bahwa barang tambang di luar golongan galian C lebih baik diserahkan ke pemerintah pusat. "Alasan teknik penambangan, pengendalian produksi, dan pengawasan menjadi alasan kuat untuk menarik perijinan tambang ke pusat," tutur Singgih.

Di tengah rezim izin pemerintah daerah, perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan yang sudah ada di tahap Operasi Produksi (IUP OP) semakin menjamur. Singgih memaparkan, IUP OP mineral hingga bulan Februari 2020 mencapai 1.426 IUP, sedangkan IUP OP batubara sebanyak 1.175 IUP.

Secara keseluruhan, data dari Kementerian ESDM mencatat bahwa jumlah pemegang IUP minerba mencapai 3.154 IUP yang tersebar di 32 provinsi, 231 kabupaten dan 11 kota.

Baca Juga: Ada omnibus law cipta kerja, Menkop UKM: UMKM bisa jaminkan kontrak penjualan

Dengan jumlah sebanyak itu, kata Singgih, tata kelola pertambangan menjadi lebih rumit. Padahal, tingkat produksi seharusnya terintegrasi dengan road map pemanfaatan SDA dan road map industri nasional.

"(Pengelolaan tambang dan produksi) harus dilakukan untuk lebih pararel dengan arah pembangunan ekonomi nasional. Tanpa menarik ke pusat, tata kelola tambang menjadi tidak mudah," ujar Singgih.

Dalam hal ini, Singgih menekankan bahwa pekerjaan rumah prioritas yang harus dituntaskan ialah terkait kelanjutan jumlah pemegang IUP OP. Menurutnya, hal ini mendesak untuk dibicarakan sebab terkait dengan tingkat produksi nasional yang juga mempengaruhi rantai pasok dan harga pasar.

Namun, kontrol terhadap IUP OP itu juga harus mempertimbangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) agar tidak terganggu. "Jadi ada kepentingan PAD, makro ekonomi dan industri. Namun, poin pengawasan atas operasi penambangan menjadi hal terpenting untuk lebih dipahami pemerintah," sebut Singgih.

Baca Juga: Target Airlangga Hartarto RUU Cipta Kerja disahkan EoDB RI naik ke 51

Sebagai gambaran, dalam komoditas batubara, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono sebelumnya mengakui bahwa pihaknya kesulitan untuk mengendalikan produksi batubara.

Bambang bilang, perusahaan yang memegang IUP OP terus meningkat, seiring dengan kewenangan pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin sebagaimana yang diatur dalam rezim otonomi daerah. Menurutnya, hal itu lah yang menjadi salah satu penyebab realisasi produksi batubara selalu meroket dari target.

Sebagai informasi, realisasi produksi batubara sepanjang tahun 2019 mencapai 616 juta ton. Padahal, target awal produksi batubara dipatok di angka 489,12 juta ton.

Pada tahun 2018, target awal ditetapkan 485 juta ton. Tapi, realisasi produksi di tahun itu menanjak menjadi 557 juta ton. Menurut data dari Kementerian ESDM, pada tahun 2018 produksi batubara dari IUP daerah mencapai 211,27 juta ton atau 37,92% dari total produksi nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×