kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini evaluasi realisasi penyerapan gas US$ 6/mmbtu dari empat sektor industri


Jumat, 26 Maret 2021 / 22:11 WIB
Begini evaluasi realisasi penyerapan gas US$ 6/mmbtu dari empat sektor industri
ILUSTRASI. Gas industri. ANTARA FOTO/Moch Asim/aww.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah sektor industri menyampaikan evaluasi setelah hampir setahun menerima stimulus harga gas untuk industri seharga US$ 6/mmbtu. Masih ada beberapa kendala yang terjadi di lapangan. 

Menurut Sumber Kontan seorang pelaku industri di sektor besi dan baja mengatakan ada dua kendala penyerapan gas di sektor industri besi dan baja. "Pertama dari sisi pasokan. Volume gas belum sesuai, cenderung kurang dengan kebutuhan industri baja nasional. Hal ini terjadi pada beberapa perusahaan baja," jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (26/3). 

Faktor kedua adalah dari sisi industri baja nasional karena beberapa penerima harga gas khusus (US$ 6/mmbtu) belum pulih dari dampak Covid-19 sehingga serapan gas masih belum maksimal.  

Dia memaparkan, rata-rata realisasi pemakaian sebenarnya cukup tinggi hingga 90% namun demikian sangat bervariasi antar perusahaan dengan rentang pemakaian 20% - 280%. Hal ini menunjukkan ada perusahaan yang belum mampu menyerap sesuai kontrak karena terdampak Covid-19. Menurunnya produksi dipengaruhi turunnya permintaan ke beberapa jenis produk. Namun, di sisi lain ada juga perusahaan yang justru membutuhkan pasokan lebih besar dari kontrak.

Baca Juga: Asaki: Industri keramik sudah maksimal menyerap gas industri US$ 6/mmbtu

Pihaknya lebih optimistis dengan tahun ini karena proyeksi ekonomi membaik dan kebutuhan baja diharapkan juga meningkat. Ditambah lagi dengan adanya stimulus proyek-proyek strategis pemerintah. Menurutnya, hal yang lebih penting adalah pemerintah bisa menjaga volume impor lebih rendah lagi dibandingkan tahun 2020. 

"Pengendalian volume impor ini yang paling penting. Terbukti di tahun 2020 impor dapat ditekan turun hingga 33%, produksi baja nasional tumbuh 19% meskipun demand nasional sedikit turun 5%," pungkasnya. 

Menurutnya,  usulan agar penyerapan gas bisa terus meningkat adalah dengan melakukan pengendalian impor baja untuk meningkatkan utilisasi kapasitas industri baja nasional. 

Usulan lainnya, perluasan cakupan penerima harga gas khusus untuk perusahaan-perusahaan atau produsen baja nasional yang belum mendapatkan harga gas khusus serta konsistensi penyaluran bagi yang sudah menerima sesuai dengan kebutuhan. Bagi sektor di industri lain, ada sejumlah kendala yang dirasakan sehingga realisasi penyerapan gas US$ 6 mmbtu belum optimal. 

Sekretaris Jendral Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas), Fajar Budiono menjelaskan secara umum, kebutuhan gas US$ 6 per mmbtu di sektor petrokimia justru cenderung tak terpenuhi. Hal ini disebabkan pasokan gas di  Jawa Timur terkendala karena salah satu penghasil gas hulu di sana mengalami masalah. 

Oleh karenanya, industri di Jawa Timur beberapa bulan belakangan dipaksa untuk take or pay karena hanya 75% kebutuhan industri dipasok dengan harga gas US$ 6/mmbtu. Sisanya menggunakan harga di rentang US$ 9/mmbtu hingga  US$ 15 dolar/mmbtu. "Adapun untuk industri petrokimia di Jawa Barat, penggunaan gas US$ 6/mmbtu sudah 100% berjalan," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (25/3). 

Penyerapan gas industri US$ 6/mmbtu ini cukup beragam di masing-masing sektor industri karena ada perusahaan yang harus melakukan penyesuaian penggunaan gas karena melakukan efisiensi atau justru sedang ekspansi sehingga membutuhkan gas lebih banyak

Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto memaparkan saat ini belum semua pelaku industri keramik mendapatkan harga gas yang setara. Hal ini terjadi pada  pelaku industri keramik di Jawa Timur.

Edy menjelaskan sudah hampir setahun sejak implementasi Kepmen ESDM No 89K/2020, industri keramik di Jawa Timur baru mendapatkan harga gas US$ 6/mmbtu sebesar 66% dari kontrak gas sesuai Kepmen. Artinya 34% pasokan gas masih dikenai harga gas lama yakni U$ 7,98/mmbtu. Adapun jika dirata-rata harga gas industri di Jawa Timur sebesar US$ 6,5/mmbtu. Sedangkan, harga gas di Jawa Barat sudah US$ 6/mmbtu. 

Baca Juga: Penyerapan gas industri US$ 6 mmbtu masih mengalami sejumlah kendala

Menurut Edy, masalah ini terjadi karena ada sebagian produsen gas hulu di Jawa Timur yang belum siap memberikan harga gas US$ 6/mmbtu sehingga PGN sebagai supplier terpaksa membebankannya ke industri. Adapun hal ini sudah berjalan cukup lama sehingga Asaki meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali. 

Di luar dari harga gas yang belum merata, pelaku industri keramik di Jawa Timur juga mendapat masalah lain yakni gangguan pasokan gas sejak beberapa bulan terakhir. Jadi  industri hanya diperbolehkan menggunakan 75% dari total kontrak Perjanjian Jual Beli Gas  (PJBG) PGN.  Masalah ini sama seperti yang dirasakan sektor industri petrokimia di Jawa Timur. 

"Hal ini memaksa industri keramik yang produksi penuh atau memakai lebih, otomatis harus membayar 25% pemakaian gas tersebut dengan harga  surcharge US$15/mmbtu. Sudah jatuh tertimpa tangga nasib industri keramik di Jatim," ungkap Edy. 

Tentu persoalan ini membuat industri keramik di Jawa Timur tidak berdaya saing dengan sesama industri lokal, di Jawa Barat. "Jangankan sama India dan China, industri keramik di Jawa Timur sudah kehilangan daya saing di lokal karena perbedaan harga gas karena kontribusi gas ke biaya produksi 30%-35%," jelasnya. 

Mengenai penyerapan gas, Edy menjelaskan sesuai dengan data utilisasi pabrik keramik secara nasional, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, bahkan pada kuartal I 2021 (menurut data dari anggota Asaki saat ini) utilisasi sudah mencapai 75% atau tertinggi sejak 2015. Hal ini mencerminkan bahwa industri keramik sudah on track dalam memanfaatkan stimulus gas harga khusus ini. 

Kendala yang sama juga turut dirasakan pelaku industri di sektor kaca lembaran. Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan menjelaskan ada satu pabrik kaca lembaran di Sidoardjo Jawa Timur dengan kapasitas terpasang 600.000 ton/tahu yang juga anggota dari AKLP,  realisasi pasokan gas dari PGN Jawa Timur ke pabrik tersebut sejak April 2020 hingga Februari 2021 hanya 64,3% dari volume alokasi dalam Kepmen ESDM 89-K/2020. Padahal penyerapan atau realisasi penggunaan gas bumi yang dibutuhkan lebih besar sekitar 15%. Maka dari itu,  pabrik kaca lembaran tersebut harus membayar surcharge lebih mahal. 

Adanya perbedaan realisasi harga gas industri, menyebabkan terciptanya persaingan usaha yang tidak sehat karena pabrik-pabrik kaca lembaran di Jawa Barat yang dipasok oleh PGN Jawa Barat dapat menikmati harga US$ 6 mmbtu sesuai dengan Kepmen ESDM 89/2020. 

Dalam keterangan resmi, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan di masa yang penuh tantangan bagi industri saat ini, Kemenperin terus berupaya menerbitkan berbagai kebijakan yang mendukung eksistensi sektor manufaktur nasional, termasuk industri baja. Kebijakan tersebut di antaranya regulasi impor baja berdasarkan supply-demand, fasilitas harga gas bumi bagi sektor industri sebesar USD6 per MMBtu, penerbitan Izin Operasional Mobilitas dan Kegiatan Industri (IOMKI), serta pengaturan tata niaga besi baja. 

“Kebijakan-kebijakan tersebut dirumuskan dengan maksud memberikan jaminan dan kesempatan bagi industri nasional, khususnya industri baja, agar dapat bersaing di pasar nasional maupun mancanegara,” kata Menperin.

Tidak sinkronnya data 

Sekjen Inaplas, Fajar Budiono menjelaskan lewat hasil dari pertemuan asosiasi industri dengan Kementerian ESDM dan SKK Migas tempo hari, diketahui terjadi ketidaksinkronan data antara pengguna dan pemasok gas di luar PGN. Padahal dari sisi industri, kebutuhan gas masih kurang, namun data di Kementerian ESDM malah menunjukkan gas tersebut tidak terserap. 

Fajar mengungkapkan adanya ketidaksinkronan data antara pemerintah dengan industri, akhirnya diambil jalan tengah dengan cara pelaku industri harus melakukan pendataan ke Kementerian Perindustrian lewat Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) setiap bulan dan pertiga bulan. Data yang harus disetor per bulan adalah laporan realisasi penyerapan gas dan pertiga bulan melaporkan proyeksi konsumsi gas tiga bulan ke depan. 

Selanjutnya: Menilik dampak kenaikan harga komoditas energi terhadap penerimaan negara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×