Reporter: Muhammad Julian | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Status Rancangan Peraturan Presiden tentang pembelian tenaga listrik energi baru terbarukan (EBT) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat ini masih menunggu persetujuan Menteri Keuangan.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan, sebelumnya Rancangan Perpres EBT ini telah melalui pembahasan lintas Kementerian/Lembaga dan harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM.
“Saat ini statusnya menunggu persetujuan Menteri Keuangan khususnya terkait dampak implementasi ketentuan harga dalam Rancangan Perpres terhadap keuangan negara berdasarkan RUPTL PLN 2021-2030 yang baru saja diterbitkan,” kata Dadan kepada Kontan.co.id, Kamis (14/10).
Baca Juga: Perpres EBT Masih Tunggu Persetujuan Menteri Keuangan
Menurut penjelasan Dadan, Rancangan Perpres EBT ini mengatur sejumlah poin penting, termasuk di antaranya metode pengadaan yaitu penunjukan langsung dan pemilihan langsung proyek pembangkit EBT serta pengaturan harga. Terdapat tiga jenis pengaturan harga yang diatur dalam rancangan ini, yaitu Feed in Tariff (FiT), Harga patokan tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan. Harga kesepakatan tersebut memerlukan persetujuan dari Menteri ESDM.
Dadan menjelaskan, ketentuan harga pembelian tenaga listrik ini akan dievaluasi setiap 3 tahun. “Dalam hal evaluasi mengakibatkan perubahan harga, ketentuan perubahan harga diatur dengan Peraturan Menteri,” kata Dadan.
Saat ini, pelaku usaha sektor EBT tengah menanti terbitnya Perpres pembelian tenaga listrik EBT ini. Ketua Asosiasi PLTMH Riza Husni mengatakan, kehadiran perpres ini bisa mendorong pelaksanaan lelang proyek PLTA yang menurut Riza tersendat. Pasalnya, Riza mencatat bahwa sejumlah proyek PLTA yang masuk dalam RUPTL dan dijadwalkan bisa beroperasi pada tahun 2025 mendatang belum juga memasuki tahapan lelang hingga saat ini.
Baca Juga: Catatan Dua Tahun Menteri ESDM, Sektor Migas Sampai EBT
“Di dalam Perpres yang akan terbit nanti, kalau sesuai dengan draftnya ada banyak pengaturan-pengaturan mengenai pelaksanaan penunjukannya (lelang),” terang Riza.
Selain itu, Riza percaya bahwa kehadiran Perpres EBT juga akan membuat iklim berusaha menjadi lebih pasti. Sebab peraturan ini mengatur soal harga jual beli listrik EBT antara independent power producer (IPP) dengan PLN. Harapan Riza, Perpres EBT ini nantinya juga bisa memuat ketentuan tarif minimum atau floor price jual beli listrik EBT dengan PLN agar
“Dengan (ketentuan) tarif paling rendah (floor price) orang bisa berhitung, oke setidak-tidaknya saya akan dibayar sekian, atau dia berharap ya mungkin saya akan bisa negosiasi 10% atau 20% di atas tarif paling rendah karena misalnya PLN butuh di daerah situ,” ungkap Riza.
Baca Juga: Kalimantan Utara terus bersolek demi menarik investor
Senada, Ketua Dewan Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Arya Rezavidi juga mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menanti kehadiran Perpres tarif EBT. Arya bilang, pihaknya telah memberi usulan tarif tenaga surya dengan besaran yang lebih menguntungkan bagi para independent power producer (IPP) dibanding ketentuan tarif existing.
“Yang sekarang ini, kalau kita sebagai IPP untuk menjual listrik ke PLN itu hanya dihargai 0,85 dari BPP (biaya pokok produksi) PLN setempat, tentu tidak menarik karena kalau di Jawa itu BPP PLN itu sudah rendah sekali,” kata Arya kepada Kontan.co.id, Kamis (14/10).
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma menilai, persoalan tarif EBT dan mekanisme pengadaan proyek pembangkit EBT merupakan isu yang penting dalam regulasi EBT. Oleh karenanya, ia berharap pengaturan mekanisme pengadaan dan tarif listrik EBT di dalam Perpres bisa membuat sektor EBT menjadi lebih menarik bagi IPP.
Baca Juga: Status rancangan Perpres pembelian listrik EBT masih tunggu persetujuan Menkeu
Meski begitu, persoalan penting dalam regulasi EBT, menurut Surya, tidak terbatas pada hal-hal ini saja. Surya menilai, ada aspek-aspek penting lainnya yang juga perlu diperhatikan, beberapa di antaranya misalnya seperti ketentuan soal dana energi terbarukan, Renewable Energy Portfolio Standard (RPS), dan Sertifikat Energi Terbarukan.
Dana energi terbarukan yang ia maksud adalah dana yang dikumpulkan untuk dapat digunakan untuk pengembangan energi terbarukan. Sumbernya bisa dari bermacam-macam, mulai dari seperti carbon tax, depletion premium energi fosil, green fund, APBN, dan lain-lain.
Sementara itu, RPS merupakan kebijakan yang dibuat untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dengan cara mengharuskan atau mendorong pemasok listrik untuk menyediakan pelanggan mereka dengan porsi listrik minimum yang berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan.
Baca Juga: 2 Tahun dipimpin Arifin Tasrif, bagaimana rapor Kementerian ESDM di sektor EBT?
“Aspek lain itu (dana energi terbarukan, RPS, dan sertifikat energi terbarukan) kami usulkan diatur dalam UU ET (energi terbarukan),” kata Surya, Jumat (15/10).
Sedikit informasi, berdasarkan catatan Kementerian ESDM, total kapasitas pembangkit EBT sampai dengan September 2021 mencapai 10,86 GW. Secara terperinci, kapasitas tersebut terdiri dari dari PLTS dengan kapasitas 184,66 MW, PLTA/M 6.429,9 MW, PLTB 154,3 MW, PLT Bioenergi 1.916,7 MW, dan PLTP 2.175,7 MW.
Baca Juga: Porsi energi hijau digenjot dalam RUPTL 2021-2030, pilih emiten batubara atau EBT?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News