Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan mempercepat pelarangan ekspor bijih mentah (ore) nikel kadar rendah menuai sorotan dari sejumlah kalangan, khususnya dari pelaku usaha pertambangan nikel di tanah air. Ada yang sepakat, namun banyak juga yang menolak.
PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara menjadi salah satu pelaku usaha yang menyampaikan penolakannya. Merry Pical, Komisaris Utama PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara mengatakan bahwa pemerintah semestinya konsisten dengan peraturan yang ada saat ini, yakni penghentian ekspor ore nikel kadar rendah kurang dari 1,7% pada Januari 2022.
Baca Juga: Dilarang Jonan, bagaimana nasib ekspor nikel 15,07 juta ton ore nikel?
Merry menilai, percepatan larangan ekspor itu dirasa tidak adil bagi pemegang kuota ekspor yang saat ini tengah berinvestasi dalam pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Jika pelarangan dimajukan, kata Merry, pemerintah seakan tidak memberikan kesempatan bagi pengusaha nikel lokal untuk menyelesaikan pembangunan sesuai dengan target waktu yang sudah direncanakan.
Padahal, Merry mengungkapkan bahwa para pemilik tambang nikel lokal yang memperoleh kuota ekspor ore nikel kadar rendah menjadwalkan pembangunan smelter-nya rampung pada akhir 2021. Apalagi, sambung Merry, kuota ekspor juga masih diperlukan, lantaran dapat memberikan kontribusi pemasukan bea masuk, PNBP dan PPh kepada pemerintah.
Baca Juga: Ignasius Jonan bakal larang penuh ekspor ore nikel, investasi 57 smelter berhenti?
Sementara dari sisi keekonomian penambang, Merry menyebut percepatan larangan ekspor tersebut justru dapat membuat harga bijih nikel di dalam negeri semakin tertekan. "Ini juga menyangkut investasi dan keekonomian bisnis, jadi pemerintah harus memperhatikan pengusaha lokal," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (11/8).
Penolakan ini sebelumnya juga disampaikan oleh Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI). Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin mengatakan bahwa jika keputusan pemberhentian ekspor dikeluarkan dalam waktu dekat, maka akan banyak kerugian yang dialami penambang maupun pembuat smelter.
Meidy menyebut, banyak penambang yang tengah berinvestasi membangun smelter dengan sumber pendanaannya ditopang dari pemasukan ekspor bijih nikel. Alhasil, jika pelarangan dipercepat, maka pembangunan smelter bisa mangkrak.
Baca Juga: Smelter feronikel Ceria Nugraha Indotama mulai dibangun di Kolaka
Terlebih, adanya ketidakseimbangan antara pasokan nikel yang ditambang dengan smelter yang beroperasi di dalam negeri akan berimbas pada keekonomian harga yang menjadi tidak berimbang. "Harga ekspor dan harga lokal kan nanti mati. Terjadi kartel, ada yang menguasai harga dan kita tidak sanggup," terangnya.
Di sisi lain, perusahaan tambang mineral plat merah, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) juga akan terkena imbas jika rencana percepatan larangan ekspor ini jadi diberlakukan. Sebab, menurut Direktur Utama Antam Arie Prabowo Ariotedjo, hingga saat ini pihaknya masih melakukan ekspor ore nikel kadar rendah.
Baca Juga: Progres Proyek Smelter Wajib Mencapai 30% Tahun Ini
Arie bilang, hingga akhir Agustus ini, Antam ekspor ore nikel kadar rendah Antam diproyeksikan mencapai 2,7 juta ton. "Kami masih ekspor, sampai dengan Agustus sekitar 2,7 juta ton," ujarnya.
Namun, Arie enggan berkomentar lebih jauh soal dampak seandainya larangan ekspor ore nikel kadar rendah jadi dipercepat. Hingga kini, kata Arie, pihakya masih menunggu keputusan resmi dari pemerintah.
"Jangan berandai-andai dulu, kami baru mendengar rumor, yang resmi kan belum. Nanti kalau sudah ada, sekarang kita tunggu dulu," ungkapnya.
Respons yang berbeda ditunjukkan oleh PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Direktur INCO Febriany Eddy mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik jika pelarangan ekspor ore jadi dipercepat.
Baca Juga: Tiga smelter anyar bakal beroperasi tahun ini
Febriany menyebut, Vale sudah mulai membangun smelter pada tahun 1968 dan selesai pada tahun 1978. Selama 51 tahun beroperasi, kata Febriany, Vale tidak pernah melakukan ekspor bijih mentah nikel.
"Sejak beroperasi produksi dan kemudian ekspansi beberapa kali, semua bijih kami selalu diproses di dalam negeri. Vale dari dulu konsisten dengan itu," tandasnya.
Seperti diketahui, pengaturan dan pelarangan ekspor mineral mentah sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba. Pasal 103 ayat (1) dalam beleid tersebut mewajibkan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Lebih lanjut, pada Pasal 170 disebutkan bahwa pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan.
Baca Juga: Kementerian ESDM yakin hilirisasi mineral lewat 57 smelter bisa selesai 2022
Namun, pemerintah melakukan relaksasi, dan mengizinkan ekspor mineral mentah. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 tahun 2017 yang diterbitkan pada 11 Januari 2017.
Dalam beleid tersebut, nikel dengan kadar kurang dari 1,7% dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 lebih dari satu atau sama dengan 42% digolongkan dalam mineral logam dengan kriteria khusus.
Dengan relaksasi tersebut, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang telah atau sedang membangun smelter pun bisa mengekspor komoditasnya maksimal lima tahun sejak peraturan tersebut diterbitkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News