kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.951.000   23.000   1,19%
  • USD/IDR 16.300   94,00   0,58%
  • IDX 7.166   -38,30   -0,53%
  • KOMPAS100 1.044   -6,02   -0,57%
  • LQ45 802   -6,08   -0,75%
  • ISSI 232   -0,07   -0,03%
  • IDX30 416   -3,18   -0,76%
  • IDXHIDIV20 486   -4,82   -0,98%
  • IDX80 117   -0,79   -0,67%
  • IDXV30 119   -0,02   -0,02%
  • IDXQ30 134   -1,35   -1,00%

Benarkah harga rokok di Indonesia terlalu murah?


Senin, 19 September 2016 / 06:00 WIB
Benarkah harga rokok di Indonesia terlalu murah?


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Masih hangat berita tentang wacana kenaikan harga rokok di Indonesia menjadi Rp 50 ribuan atau 4-5 kali lipat dari harga saat ini. Semua komentar pro dan kontra terhadap wacana ini masih menjadi bahan diskusi di masyarakat.

Pihak yang mendukung wacana ini beralasan, harga rokok di Indonesia yang rata-rata Rp 10 – 18 ribu per bungkus masih jauh di bawah harga rata-rata rokok di Singapura yang mencapai Rp 100 ribu per bungkus. Kenaikan drastis dipandang efektif dalam mengurangi jumlah perokok. Selain itu, kebijakan kenaikan cukai secara eksesif ini juga dapat menambah penerimaan negara.

Terkait hal ini, Kodrat Wibowo, Dosen dan Peneliti Senior CEDS-FEB Universitas Padjadjaran, mengatakan, wacana ini dinilai tidak akan berhasil menambah kocek penerimaan negara. Klaim bahwa harga rokok di Indonesia adalah terlalu murah pun disanggah.

Kodrat menjelaskan, rokok sebagai produk yang dianggap memiliki eksternalitas negatif sehingga konsumsi serta peredarannya perlu dikontrol, pemerintah memberlakukan kebijakan sin tax berupa pengenaan cukai rokok guna membatasi konsumsinya.

“Khusus untuk produk tembakau seperti rokok, secara berkala, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada penerimaan negara. Tercatat bahwa cukai rokok merupakan salah satu sumber penerimaan negara paling stabil dan terprediksi. Pada tahun 2015, penerimaan cukai rokok menyumbang 11,7 % dari total penerimaan negara lewat pajak,” katanya.

Menurut Kodrat, pajak adalah komponen terbesar dari harga rokok. Saat ini, sekitar 50 – 70% dari harga rokok masuk ke kas negara dalam bentuk cukai, PPN, dan Pajak Daerah. Asumsinya, mengerek harga rokok maka penerimaan negara jelas akan meningkat.

Padahal, sambungnya, peningkatan tarif cukai rokok yang ekstrem justru akan mengurangi dan menghentikan konsumsi rokok. Maka itu, realisasi kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribuan mengartikan “akhir” dari aktivitas industri rokok nasional, mulai dari  hulu hingga ke hilir.

Industri rokok juga erat terkait dengan mati hidupnya sektor perkebunan tembakau. Sejak wacana tersebut beredar, harga tembakau telah turun drastis hingga 50%. “Belum lagi tercatat banyaknya pekerja termasuk petani yang bergelut di bidang industri tembakau beserta turunannya,” ujarnya.




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×