Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Masih hangat berita tentang wacana kenaikan harga rokok di Indonesia menjadi Rp 50 ribuan atau 4-5 kali lipat dari harga saat ini. Semua komentar pro dan kontra terhadap wacana ini masih menjadi bahan diskusi di masyarakat.
Pihak yang mendukung wacana ini beralasan, harga rokok di Indonesia yang rata-rata Rp 10 – 18 ribu per bungkus masih jauh di bawah harga rata-rata rokok di Singapura yang mencapai Rp 100 ribu per bungkus. Kenaikan drastis dipandang efektif dalam mengurangi jumlah perokok. Selain itu, kebijakan kenaikan cukai secara eksesif ini juga dapat menambah penerimaan negara.
Terkait hal ini, Kodrat Wibowo, Dosen dan Peneliti Senior CEDS-FEB Universitas Padjadjaran, mengatakan, wacana ini dinilai tidak akan berhasil menambah kocek penerimaan negara. Klaim bahwa harga rokok di Indonesia adalah terlalu murah pun disanggah.
Kodrat menjelaskan, rokok sebagai produk yang dianggap memiliki eksternalitas negatif sehingga konsumsi serta peredarannya perlu dikontrol, pemerintah memberlakukan kebijakan sin tax berupa pengenaan cukai rokok guna membatasi konsumsinya.
“Khusus untuk produk tembakau seperti rokok, secara berkala, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada penerimaan negara. Tercatat bahwa cukai rokok merupakan salah satu sumber penerimaan negara paling stabil dan terprediksi. Pada tahun 2015, penerimaan cukai rokok menyumbang 11,7 % dari total penerimaan negara lewat pajak,” katanya.
Menurut Kodrat, pajak adalah komponen terbesar dari harga rokok. Saat ini, sekitar 50 – 70% dari harga rokok masuk ke kas negara dalam bentuk cukai, PPN, dan Pajak Daerah. Asumsinya, mengerek harga rokok maka penerimaan negara jelas akan meningkat.
Padahal, sambungnya, peningkatan tarif cukai rokok yang ekstrem justru akan mengurangi dan menghentikan konsumsi rokok. Maka itu, realisasi kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribuan mengartikan “akhir” dari aktivitas industri rokok nasional, mulai dari hulu hingga ke hilir.
Industri rokok juga erat terkait dengan mati hidupnya sektor perkebunan tembakau. Sejak wacana tersebut beredar, harga tembakau telah turun drastis hingga 50%. “Belum lagi tercatat banyaknya pekerja termasuk petani yang bergelut di bidang industri tembakau beserta turunannya,” ujarnya.
Asal tahu saja, pemerintah secara berkala telah menaikkan tarif cukai yang pada tahun 2016 mencapai 15% secara rata-rata tertimbang, tetapi masih berkembang anggapan bahwa harga rokok di Indonesia masih terlalu murah dan Pemerintah kurang agresif dalam menaikkan tarif cukai.
Wacana kenaikan harga menjadi Rp 50 ribu sebenarnya mengartikan tarif cukai yang harus diberlakukan pada tingkat Harga jual eceran atau banderol saat ini adalah 400% sampai 500%.
Padahal, Kodrat menuturkan, Undang-Undang No. 39/2007 Tentang Cukai telah mengatur bahwa besaran tarif maksimum untuk produk tembakau tidak boleh lebih dari 57% harga jual eceran.
“Karenanya jelas bahwa isu kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu adalah sebuah wacana yang disuarakan secara “ngawur”, emosional, dan tidak bijaksana,” paparnya.
Secara nominal, harga rokok di Indonesia memang jauh lebih murah dibandingkan Singapura atau Malaysia. Namun, hal ini bukan berarti bahwa rokok di Indonesia lebih terjangkau karena masing-masing negara memiliki tingkat kesejahteraan yang berbeda. Ia mengatakan, membandingkan harga rokok juga perlu mempertimbangkan unsur penghasilan dan daya beli masyarakat di masing-masing negara.
Dengan mempertimbangkan harga rokok rata-rata, PDB per kapita negara-negara (Laporan IMF 2015), serta nilai tukar mata uang, kita dapat mengetahui bahwa porsi pendapatan per kapita masyarakat Indonesia untuk membeli 100 pak rokok adalah 4,8%.
Angka ini jauh lebih besar ketimbang negara-negara lain. Tabel di bawah mencerminkan bahwa harga rokok di Indonesia justru lebih tidak terjangkau atau tidaklah murah.
Masyarakat Indonesia memerlukan porsi pendapatan yang lebih besar untuk membeli 100 pak rokok ketimbang warga di negara lain. Tingkat kemahalan harga rokok di Indonesia ini bisa jadi lebih tinggi bila memperhitungkan tingkat pendapatan relatif menggunakan Puchasing Power Parity (PPP) dan mempertimbangkan pula mayoritas konsumen rokok di Indonesia adalah yang berpendapatan di bawah per kapita.
“Karenanya, upaya menaikkan cukai setinggi mungkin, bila perlu dengan mengubah UU yang berlaku, dengan tujuan hanya agar harga rokok Indonesia setara dengan harga rokok di negara lain dan karenanya dapat menambah kocek penerimaan negara lebih banyak dan/atau mengurangi secara signifikan jumlah konsumsi rokok masyarakat Indonesia hanya akan membawa dampak lebih buruk pada banyak kepentingan terkait kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Kodrat kembali menegaskan penyesuaian tarif cukai atau menaikkan harga rokok harus mempertimbangkan juga faktor daya beli masyarakat. Apabila harga naik terlalu tinggi, maka dikhawatirkan justru konsumen rokok yang permintaannya inelastisitas akan beralih dari konsumsi ke produk rokok ilegal dengan harga murah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News