kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berlomba-lomba Bidik Potensi Bisnis Nuklir di Indonesia


Rabu, 31 Agustus 2022 / 20:13 WIB
Berlomba-lomba Bidik Potensi Bisnis Nuklir di Indonesia
ILUSTRASI. Kepala Bidang Pengelola Laboatorium Keselamatan Reaktor Nuklir BATAN Deswandri menjelaskan mesin penyaring Helium yang jadi bagian dari Reaktor Daya Eksperimental (RDE) di Lab Simulator Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Banten, Senin (28/1/2019).


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Peristiwa geger radiasi nuklir di Perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan yang terjadi dua tahun lalu masih menyisakan kekhawatiran. 

Meskipun lahan yang terkontaminasi limbah nuklir telah menyandang status clearance dari BAPETEN dan disulap menjadi lapangan tenis yang ciamik, tetap saja kejadian tersebut membekas di ingatan.  

Sore itu, di lapangan tenis yang belum lama kelar dibangun warga Batan Indah cukup ramai. Tampak sejumlah anak muda main tenis, ada juga seorang lelaki paruh baya yang membawa anak berjalan-jalan di dalam lapangan tanpa menampakkan raut takut. 

Temuan radiasi nuklir yang melebih batas ambang di lahan kosong area Perumahan Batan Indah pada awal 2020 merupakan bahan radio aktif berjenis Cesium 137 yang biasa digunakan oleh sejumlah industri manufaktur untuk mengukur ketebalan dan densitas logam atau kertas.  

Baca Juga: Krisis Energi Global Jadi Pemicu Gairah Kebangkitan Tenaga Nuklir Asia

Pihak BATAN menegaskan, limbah ini tak berasal dari reaktor nuklir karena wilayahnya relatif jauh atau 4 kilometer dari Reaktor Serba Guna G.A Siwabessy di Kawasan Nuklir Serpong.  Dari informasi yang dihimpun, limbah nuklir tersebut dibuang sembarangan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.  

“Sampai saat ini cuma khawatirnya walaupun sudah diamankan, masih ragu-ragu apa tidak ada lagi nih sisa-sisa (zat radio aktif). Mungkin jadi tidak berani nanam tumbuhan, takut tanahnya terkontaminasi jadi hasil buahnya ikut kena radiasi,” ungkap EM, salah seorang warga Perum BATAN Indah yang tak bersedia ditulis namanya mengungkapkan rasa khawatir kepada Kontan.co.id (13/8).  

Kekhawatiran EM ini menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga terkait untuk meningkatkan kewaspadaan agar kejadian yang sama tidak lagi terulang.  

Sebelumnya pada Oktober 2020, setelah lahan tersebut mendapatkan status clearance, Bambang Brodjonegoro yang kala itu masih menjabat sebagai Menteri RIset dan Teknologi (saat ini sudah menjadi komisaris di sejumlah perusahaan) berharap terdeteksinya radioaktif oleh BAPETEN bukanlah hal yang kebetulan, meski alat pengawas masih terbatas.  

“Hal ini cukup berbahaya, jika diibaratkan bisa seperti (virus) Covid-19 tidak terlihat secara langsung karena harus diuji terlebih dahulu menggunakan alat, baru bisa terdeteksi. Bicara mengenai radioaktif (harus mengutamakan) 2 E (yakni) Edukasi dan Enforcement meskipun radioaktif banyak manfaatnya, jika disalahgunakan seperti limbahnya dibuang sembarangan tentu ada tindakan hukum yang harus diberlakukan,” ujarnya dikutip dalam laman resmi BAPETEN.  

Baca Juga: Kekurangan Energi, Kishida Pasang Panggung Kebijakan Besar Hidupkan Pembangkit Nuklir

Sejatinya, pengawasan zat radio aktif seharusnya dilakukan secara ketat mulai dari proses impor bahan baku, digunakan, hingga menjadi limbah. 

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan, limbah radioaktif menjadi suatu yang penting karena Indonesia adalah salah satu negara pemilik dan juga pemanfaatan fasilitas ketenaganukliran dalam berbagai bentuk, termasuk reaktor yang ada di BRIN, tetapi juga berbagai fasilitas medis dan industri.  

Deputi Pengkajian Keselamatan Nuklir BAPETEN, Dahlia Cakrawati Sinaga mengakui Peraturan perundang-undangan mulai tingkat undang-undang sampai dengan Peraturan di tingkat menteri dan lembaga telah mengatur keselamatan pengelolaan limbah radioaktif, namun dalam implementasinya masih ditemukan kendala. 

“Beberapa kendala tersebut ialah perusahaan yang bangkrut tidak dapat mengirimkan kembali zat radioaktif ke negara asal, keterbatasan kontainer pengangkut, biaya pengiriman, kendala transportasi ke negara asal, dan lainnya,” jelasnya dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengawasan dan Pengelolaan Limbah Radioaktif di Indonesia, (15/6).  

Dahlia menegaskan, pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia yang semakin meningkat akan berdampak pada peningkatan volume limbah radioaktif yang dihasilkan.

Baca Juga: Tiga Isu Krusial Dibahas dalam RUU EBT, Ada Energi Nuklir dan DMO Batubara

Maka itu, dia berharap semua pihak berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan terkait limbah radioaktif yang terangkum dalam peta jalan. Dia bilang, penyelesaian masalah limbah radioaktif bersifat multi-institusional sehingga peran dan komitmen semua pihak sangat diperlukan. 

Sinyal Lampu Hijau Pengembangan Nuklir untuk Energi 

Saat ini pemanfaatan nuklir di Indonesia masih sebatas untuk penelitian. Indonesia sudah memiliki tiga reaktor yakni Reaktor Penelitian Kartini di Sleman, Reaktor Siwabessy di Serpong, dan Reaktor Penelitian Triga Mark III di Bandung. 

Reaktor riset ini tidak diambil energi atau listriknya, tetapi yang diambil adalah netronnya. Nah, netron inilah yang digunakan untuk berbagai macam pemanfaatan misalnya radio isotop yang digunakan di bidang medis khususnya kedokteran nuklir. 

Kini, sinyal pemanfaatan nuklir untuk sektor kelistrikan di Indonesia makin terang seiring dengan komitmen pemerintah mengejar target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.  

Meski di dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menyatakan bahwa energi nuklir mempertimbangkan sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat, namun saat ini kode pengembangan nuklir makin jelas.  

Baca Juga: Jepang Beri Sinyal Kembali Gunakan Tenaga Nuklir untuk Stabilkan Pasokan Energi

Misalnya saja dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLN mulai menimbang dan mengkaji implementasi pembangkit tenaga nuklir di Indonesia. 

PLN juga mempertimbangkan energi nuklir terutama ketika cadangan energi fosil sudah menipis. Adapun beberapa teknologi PLTN yang dikaji untuk melihat potensi pembangkit nuklir secara optimal, salah satunya yang berteknologi molten salt reactorberbentuk pembangkit floating sebagai alternatif pengembangan PLTN di samping PLTN Konvensional.  

Adapun di dalam Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035 telah menyebutkan bahwa PLTN akan dikembangkan pada tahun 2020-2024 dan 2025-2035, sedangkan industri logam tanah bahan bakar nuklir akan dikembangkan pada 2025-2035. Lantas, untuk mencapai sasaran pembangunan industri nasional, dilakukan program pengembangan industri prioritas yang dilaksanakan bersama oleh Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan swasta.  

Ada sejumlah program pengembangan industri prioritas terkait pemanfaatan nuklir, di antaranya pada periode 2015-2019 memfasilitasi penelitian dan pengembangan potensi logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth elements (REE) sebagai bahan paduan dan bahan baku nuklir. 

Baca Juga: Peluang Kerja Sama Terbuka Lebar, Investasi Rusia Masih Minim di Indonesia

Kemudian memfasilitasi pendirian pabrik atau pusat pengolahan lanjut REE produk bahan baku nuklir sebagai bahan bakar pembangkit listrik atau bahan penolong beradiasi di industri.  

Kemudian pada 2020-2035, akan dilaksanakan program memfasilitasi pendirian pabrik atau pusat pengolahan LTJ produk bahan baku nuklir sebagai bahan bakar pembangkit listrik atau bahan penolong beradiasi di industri, hingga memfasilitasi pembangunan pabrik bahan bakar nuklir dari uranium atau unsur lainnya.  

Belum lagi Undang-Undang Cipta Kerja yang belum lama disahkan DPR RI juga turut mengatur tentang ketenaganukliran. Berdasarkan dokumen UU Cipta Kerja, sub tema Ketenaganukliran di paragraf 6 Pasal 43 berbunyi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Ketenaganukliran. 

Yang terbaru adalah Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang akan dirampungkan pada tahun ini. Melalui catatan Kontan.co.id, Direktur Jenderal Energi baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengungkapkan bahwa ada tiga isu krusial yang masuk dalam RUU EBT di mana salah satunya adalah nuklir.  

Mengacu pada draf RUU EBT, nuklir dibahas dalam Bab IV tentang Energi Baru. Pada pasal 6 ayat (1) Sumber Energi Baru terdiri atas nuklir dan Sumber Energi Baru lainnya. 

Baca Juga: Gas dan Nuklir Dianggap Energi Hijau, Benua Biru Terbelah

Lalu pada pasal 7 disebutkan, nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit daya nuklir. Pembangkit terdiri atas pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit panas nuklir.  

Menurut kabar terakhir, Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan bahwa RUU EBET saat ini sudah selesai semua di kementerian dan telah menyetujui daftar inventarisasi masalah (DIM) yang ada. 

“Akan dikembalikan ke Setneg dari Setneg akan disalurkan sebagaimana proses yang berlaku, bagaimana kita bisa menambah DIM-DIM ini memperkuat UU EBET ini,” ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI Bersama Kementerian ESDM, (24/8).  

Dari sisi parlemen, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto turut mendorong habis-habisan pengembangan energi baru dan terbarukan melalui RUU EBET. Sugeng mengungkapkan, pihaknya sedang menunggu surat presiden (Surpres) karena RUU EBET sudah diparpurnakan. 

Nantinya, akan dibentuk Panja RUU EBT antara Komisi VII dengan pemerintah untuk menyandingkan konsep dari komisi VII DPR RI dengan daftar invetarisasi masalah (DIM) dari pemerintah untuk akhirnya membentuk UU ini. 

Menurut Sugeng, dengan berbagai perhitungan, ada satu skenario ekstrim  di mana diperlukan nuklir untuk mencapai net zero emission sekaligus memenuhi kebutuhan energi di tahun 2060. 

Baca Juga: Amerika Serikat Majukan Pilar IPEF dengan Kunjungan Misi Perdagangan Clean EDGE ke RI

“Tanpa nuklir tampaknya tidak akan bisa. Makanya RUU ini namanya energi baru (EB) termasuk nuklir dan energi terbarukan (ET) yang macam-macam,” terangnya.

Masuknya pembangkit nuklir dalam mencapai target net zero emission ini bukan tanpa alasan. Pemerintah mencari pembangkit yang secara kemampuan dan keekonomian setara dengan pembangkit bertenaga batubara (PLTU) di mana harus bisa beroperasi 24 jam dan harga jual listriknya kompetitif. 

Semakin jelasnya lampu hijau bagi nuklir, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN)-BRIN, Rohadi Awaludin mengungkapkan, saat ini banyak negara yang melirik Indonesia untuk mengembangkan PLTN. 

“Ada beberapa perusahaan yang kita juga sedang menjalin komunikasi, ada dari Amerika Serikat, Denmark, Jepang, dan lainnya,” jelasnya saat ditemui di Kawasan Nuklir Serpong, (16/8).  

Sejumlah negara itu menjajakan teknologi pembangkit nuklir yang beragam. Rohadi mengatakan misalnya saja Amerika Serikat menawarkan pembangkit berteknologi thorium molten salt reactor (MSR) dan small modular reactor (SMR). Lalu Denmark menawarkan MSR dengan bahan bakar uranium, sedangkan Jepang sudah menjalin komunikasi tetapi belum menyebut jenis pembangkitnya. 

Baca Juga: Mengenal Dua Indeks Bertema ESG yang Diluncurkan Hari Ini

“Kami sekarang menjalin komunikasi dengan beberapa pihak, setelah intensif mana yang paling siap,” kata Rohadi.  

Salah satu perusahaan pengembang pembangkit nuklir, PT Thorcon Power Indonesia bahkan sudah menyiapkan dana Rp 17 triliun yang akan fokus digelontorkan mengembangkan reaktor nuklir berteknologi molten salt reactor (MSR) di Indonesia.  

Chief Operating Officer PT ThorCon Power Indonesia, Bob Effendi menyatakan pihaknya telah menandatangani MoU dengan Bangka Belitung. Dia mengakui, telah disepakati pembangunan Thorium Molten Salt Reactor di sebuah pulau terpencil atau 32 kilometer dari pulau Bangka, sehingga dia harap tidak ada ketakutan-ketakutan dari masyarakat.  

Bagi pengusaha nuklir, Indonesia memiliki potensi bisnis yang besar. Bob melihat bahwa  Indonesia merupakan negara kelima dengan populasi terbesar di dunia dan ke depannya pasar Indonesia masih akan tumbuh eksponensial.  

“Kami akan cari negara dengan market potensial tinggi yaitu negara berkembang. Indonesia tidak punya nuklir, jadi ini adalah pernyataan komersial. Indonesia memiliki market share yang akan terus tumbuh. Selama produknya bagus, kita akan menguasai market yang luar biasa besar,” ungkapnya.  

Industri hulu nuklir bersiap-siap 

Sejatinya pengembangan nuklir di Indonesia juga menimbang adanya potensi bahan bakar nuklir yang tersedia seperti uranium dan thorium. Namun karena selama ini industri hilirnya yakni PLTN belum dibangun, maka nilai keekonomian bahan baku nuklir ini jadi belum menarik.  

Baca Juga: Penambahan Fasilitas CCUS di Blok Masela Dinilai Penting

Beda cerita, jika masa depan nuklir di Tanah Air makin terang, industri hulu pun mulai bergerak mencari partner untuk mengembangkan teknologi yang dapat menghasilkan bahan baku nuklir.  

Kepala ORTN BRIN, Rohadi Awaludin menyebut Indonesia memiliki cadangan uranium dan thorium dalam jumlah yang cukup besar. Bahkan ada beberapa daerah atau kawasan baru yang memiliki indikasi adanya cadangan bahan baku nuklir uranium atau thorium. 

Berdasarkan data Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) saat ini, Indonesia menyimpan bahan baku nuklir berupa sumber daya uranium sebanyak 81.090 ton dan thorium sebanyak 140.411 ton yang tersebar mulai dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.  

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Eko Budi Lelono menjelaskan thorium merupakan mineral radio aktif bagian kritikal mineral yang selama ini diketahui adanya di mineral monasit ikutan mineral logam timah.  

Melansir Rekapitulasi Sumber Daya dan Cadangan Mineral Logam Tahun 2021, jumlah sumber daya monasit dari 48 lokasi sebanyak 6,92 juta ton berbentuk bijih dan 186.663 berbentuk logam.  

Namun mineral yang masuk ke dalam kategori logam tanah jarang/LTJ (rare earth) ini belum dimanfaatkan maksimal karena adanya keterbatasan teknologi. Maka itu, selama ini mineral-mineral ikutan hanya bisa teronggok di gudang sebagai stockpile dan masih diupayakan untuk diolah lebih lanjut.  

Direktur Utama PT Timah Tbk (TINS), Achmad Ardianto memberikan gambaran perihal keberadaan monasit. Dia memaparkan, dari 1 ton biji timah kandungan mineral monasit hanya 0,59%. Sumber daya monasit berdasarkan perhitungan empiris tercatat sebanyak 23.500 ton.  

Baca Juga: Kadin: Net zero emission di Indonesia jangan hanya jadi wacana

“Meskipun kecil sekali tetapi nilainya luar biasa karena sangat dibutuhkan,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI, Senin (11/4). 

Dari sisi mineralogi, kandungan logam tanah jarang (LTJ) dalam monasit lebih dari 90% sedangkan unsur radioaktif kurang dari 5%. Hal ini tergambarkan dari data potensi thorium di IUP PT Timah yang dibuat oleh divisi eksplorasi PT Timah 31 Desember 2018, total potensi monasit sebanyak 22.012 ton sedangkan potensi thoriumnya hanya 1.063 ton.  

Agak sedikit berbeda, menurut pemaparan Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Djoko Widajatno bahwa dari 1 ton mineral monasit dapat diperoleh thorium 6%, dan uranium  0,3 %.  

Langkah yang saat ini ditempuh oleh PT Timah ialah menemukan teknologi yang tepat demi memastikan monasit dapat diekstrak sempurna dan dijual pada penggunanya. Sejak 2010, PT Timah telah bekerja sama dengan BATAN untuk pengolahan baik itu menghasilkan logam tanah jarang karbonat maupun hidroksida sampai ke oksidanya. 

Sekretaris Perusahaan TINS, Abdullah juga mengakui bahwa saat ini TINS telah menandatangani  perjanjian kerjasama dengan PTBGN BATAN (sekarang BRIN) untuk pengelolaan material radioaktif yang dihasilkan dari rencana pabrik logam tanah jarang di PT Timah.  

Baca Juga: Menteri ESDM tegaskan komitmen pengembangan gas bumi di Gastech 2021

“PT Timah juga terlibat mendukung dalam kegiatan penelitian dan pengembangan hilirisasi monasit menjadi logam tanah jarang, thorium dan uranium bersama Kemenko Marves, BRIN dan perusahaan nasional lainnya,” jelasnya saat dihubungi Kontan.co.id (18/8).  

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, saat ini sudah ada sejumlah perusahaan yang menyatakan minat untuk berinvestasi mengelola bahan baku nuklir di Tanah Air yakni thorium.  

“Sudah ada (yang mau investasi), namun saya belum bisa umumkan karena masih dikaji dengan badan pengendali nuklir, penelitian ada di BRIN,” jelasnya saat ditemui di gedung Kementerian Investasi / Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jumat (12/8). 

Bahlil mengatakan, pihaknya membuka peluang juga bagi perusahaan luar negeri untuk masuk mengelola mineral berbahan radio aktif ini dengan catatan berkolaborasi dari sisi teknologi dengan perusahaan Indonesia.  

“Tentu prioritas di dalam negeri itu penting selama serius dan punya teknologi. Kalau belum, apa salahnya lakukan kolaborasi. Tidak boleh juga asing sendiri, harus dipadukan supaya kalau asing masuk bisa tumbuh bersama dengan pengusaha di dalam negeri,” ujarnya.  

Baca Juga: China berencana mengirim misi berawak pertama ke Mars pada tahun 2033

Meski masih belum mau banyak berkomentar, Bahlil menegaskan bahwa realisasi investasi ini akan terjadi dalam waktu dekat. “Tidak makan tahun, dalam waktu dekat. Begitu selesai rekomendasi dari BRIN, akan langsung jalan,” ujarnya. 

Sedangkan untuk potensi nilai investasinya, Bahlil bilang pihaknya sedang menghitung sebab tergantung volumenya nanti. 

Kendati demikian, jika berkaca pada pengalaman di India sebagai salah satu negara dengan pemilik sumber daya thorium terbesar di dunia, sejak 2008 India malah menjadi salah satu negara pengimpor uranium dari berbagai negara. Sampai saat ini, India masih dalam upaya mengembangkan mekanisme bagaimana thorium dapat diproses dan digunakan untuk dimasukkan ke dalam reaktor. 

Kepala ORTN BRIN, Rohadi Awaludin menambahkan, tantangan dalam pengembangan thorium adalah masih relatif sedikit data yang tersedia terkait dengan pembangkit listrik menggunakan thorium. Oleh sebab itu, banyak sisi perlu dilakukan verifikasi dalam penyusunan desain. Pasalnya, thorium tidak bisa serta-merta dijadikan bahan bakar nuklir karena harus melewati proses terlebih dahulu.  

Baca Juga: Tahun 2033, China berencana mengirim misi berawak pertama ke Mars

Thorium-233 merupakan fertile material dan berubah menjadi uranium-233 (fissile material) setelah menangkap netron dan melewati serangkain reaksi inti atom. Uranium-233 ini merupakan fissile material yang dapat dibakar. Dengan kata lain, thorium-233 tidak dapat langsung dibakar, namun perlu diubah dulu menjadi uranium-233 baru bisa dibakar. Hal ini menjadi salah satu penyebab kompleksitas yang perlu diatasi dalam desain reactor nuklir berbahan bakar thorium, khususnya tipe bahan bakar nuklir yang dikembangkan. 

Berhati-Hati Kembangkan Nuklir  

Prof. Dr. Tatsujiro Suzuki dari Universitas Nagasaki mengibaratkan energi nuklir merupakan “obat” yang memiliki efek yang kuat. Jangan digunakan jika tidak diperlukan. Namun, jika diperlukan harus siap menerima efeknya.  

Pernyataan Suzuki ini berangkat dari pengalamannya melihat kondisi pasca-kejadian kebocoran reaktor Fukushima Daiichi akibat gempa disertai tsunami. Meski kejadian ini sudah terjadi 11 tahun yang lalu, dampak peristiwa Fukushima belum berakhir khususnya pada sisi ekonomi, sosial, hingga kemanusiaan. 

“Total biaya yang dikeluarkan untuk menangani kejadian Fukushima sulit diprediksi tetapi terus meningkat. Pemerintah Jepang mengestimasi biaya US$ 74,3 miliar di 2012 menjadi US$ 223,1 miliar di 2021. Namun Japan Center for Economic Research (JCER) mengestimasi biaya yang dikeluarkan seharusnya US$ 322 miliar – US$ 719 miliar karena memasukan biaya pembuangan akhir untuk limbah radioaktif yang dihasilkan oleh dekomisioning dan dekontaminasi,” ujarnya dalam webinar (11/3). 

Baca Juga: Selain INA, Pemerintah Berharap Pengembangan BUMN dari Taspen & BPJS Ketenagakerjaan

Suzuki menegaskan, pengembangan energi nuklir dibutuhkan sarana/organisasi peninjau ilmiah independen. Menurutnya, kurangnya organisasi peninjau kebijakan yang independen adalah alasan utama perdebatan terpolarisasi dan hilangnya kepercayaan publik.  

Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim menyatakan pengambangan PLTN butuh kesiapan regulasi dan institusi dan saat ini Kementerian ESDM sudah membentuk Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) yang tugasnya melakukan persiapan. 

Dari sisi regulasi, diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Menteri yang terkait dengan eksploitasi nuklir, keamanan, dan ketentuan ketenagalistrikan.  

Khusus dari sisi keamanan, Herman mencermati bahwa UU No 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran belum memadai. “Perlu di-address beberapa peraturan, bangun PLTN perlu ketentuan terkait dengan keamanan nuklir dan ini sangat luas,” ujarnya dalam acara yang sama.  

Herman mengatakan, keamanan nuklir ini meliputi pengangkutan bahan bakar, penyimpanan, pembuangan, keamanan pegawai yang bekerja di PLTN, dan masyarakat yang ada di sekitar. Selain itu juga jaminan-jaminan yang diberikan jika terjadi kecelakaan nuklir Biasanya di sebuah negara ada biaya yang disediakan pemerintah, sebab perusahaan asuransi tidak ada yang menanggung itu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×