kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bos mobil Jepang di negeri sendiri


Senin, 08 Februari 2016 / 17:10 WIB
Bos mobil Jepang di negeri sendiri


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Bulan Juli 2014 adalah saat yang paling penting dalam hidup Stephanus Ardianto. Pasalnya, PT Nissan Motor Indonesia (NMI) resmi menunjuknya sebagai Presiden Direktur. Keberhasilan Steve, sapaan akrab Stephanus memimpin perusahaan otomotif asal Jepang ini tak lepas dari pengalamannya di perusahaan tersebut.

Dia memulai karier di Nissan sejak 1 Juli 1996 dan merintis dari bawah hingga menjadi pucuk pimpinan di NMI. Keberhasilan Nissan menjadi pabrikan mobil besar di Indonesia berbanding lurus dengan perjalanan karier Stephanus.

Saat berbincang dengan KONTAN, Kamis (4/2) lalu, Stephanus menceritakan bahwa perjalanannya menjadi orang nomor satu di Nissan cukup panjang dan menantang serta terkadang penuh liku.

Bekerja di perusahaan dan menjadi bos dari produsen mobil ternama di Tanah Air tak pernah ada di benak Stephanus sebelumnya. Bahkan bidang otomotif sama sekali tak pernah dipikirkannya ketika kecil. Maklum, ayahnya berprofesi sebagai dokter sangat jauh dengan gemerlap otomotif.

Meski ayah bekerja di dunia medis, Stephanus justru mengaku saat kecil bercita-cita untuk menjadi insinyur dan bermimpi untuk kerja di laut. Alasannya sederhana, dia memang suka dengan bidang teknik karena sejak kecil dia menyukai laut.

Guna memenuhi mimpi, pria kelahiran Surabaya ini pun akhirnya memutuskan masuk ke Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dengan jurusan Teknik Perkapalan dan Kelautan.

Masuk tahun 1987 dan lulus di tahun 1992, Stephanus memutuskan untuk pindah ke Jakarta di tahun 1993 untuk mencari pekerjaan. Dengan ilmu yang dimilikinya, Stephanus berhasil mendapat pekerjaan di perusahaan kontainer, namun tidak bertahan lama. "Akhirnya saya tahu suasana kerja di lepas pantai itu ternyata tidak enak," ujarnya sambil tertawa.

Hengkang dari perusahaan kontainer, Stephanus merapat ke perusahaan komponen otomotif raksasa asal Korea Selatan, Daewoo Group. Namun, kariernya tak berjalan mulus lantaran perusahaan tersebut tidak berjalan maksimal.

Dia pun akhirnya memutuskan hengkang dan melirik ke pabrikan otomotif Suzuki. Hanya sayangnya, Suzuki tak membuka lowongan kerja ketika itu dan perusahaan otomotif yang buka lowongan adalah Nissan yang belum dikenal publik.

Meski bukan perusahaan mapan ketika itu, tapi dia akhirnya resmi bergabung dengan Nissan di tahun 1996. "Waktu saya masuk Nissan masih bikin satu mobil, yakni Nisaan Terrano. Bahkan, nama Terrano lebih dikenal ketimbang Nissan saat itu," kenangnya. Jabatan pertamanya di Nissan adalah sebagai Assistant Manager Supply Chain perusahaan.

Stephanus menemukan chemistry dengan Nissan. Karier Stephanus mulai merangkak naik dengan menapaki sejumlah posisi seperti purchasing dan product planning export-import. Di sisi lain, Nissan yang pada tahun 1996 baru memproduksi 200 unit mobil per bulan, meningkat tajam hingga 1.000 unit per bulan pada tahun 1997.

Namun, badai besar datang menimpa Nissan dan Stephanus di tahun 1998. Indonesia dilanda krisis moneter dan berdampak langsung pada bisnis Nissan. Alhasil, Nissan yang ketika itu di bawah komando PT Wahana Wirawan harus berhenti produksi.

Gelombang PHK melanda Nissan kala itu, Stephanus yang kala itu mengurusi ekspor tetap bertahan meski kehilangan 10 orang dari 11 orang anak buahnya. "Krisis moneter benar-benar menjadi pelajaran hidup dalam perjalanan karier ini," katanya.

Ungkapan 'badai pasti berlalu' cocok menggambarkan perjalanan karier Stephanus. Pada tahun 2001, Nissan kembali ke panggung otomotif Tanah Air, tapi dengan bendera PT Nissan Motor Indonesia.

Karier Stephanus pun kembali bangkit dan dimulai dari Coorporate Planning yang dibagi menjadi planning division dan procurement division.

Ketika itu, Stephanus dan kawan-kawan di Nissan sedang berencana membuat produk anyar dan munculah Nissan X-Trail, Serena, dan Grand Livina. "Saya beruntung bisa ikut berkontribusi untuk perusahaan. Ketika itu, kami mimpi bisa menjual 4.000 unit per bulan," ujarnya.

Berkiprah di luar negeri

Sejak tahun 2004, Stephanus yang dipercaya menjadi Head of Division Planning mematangkan konsep Nissan Grand Livina. Sampai akhirnya, produk ini meluncur ke pasar pada tahun 2007 dan langsung menuai sukses. Berkat produk anyar ini, penjualan Nissan bisa mencapai 4.000 unit per bulan dan mimpi tersebut akhirnya bisa dipenuhi.

Kesuksesan Stephanus membesut Grand Livina tak luput dari pengamatan Nissan Motor Company yang berbasis di Jepang. Pada tahun 2008, dia mendapat tawaran untuk meningkatkan karier dan kompetensi dengan menimba pengalaman di luar negeri.

Posisi sebagai Managing Director Nissan Asia Pacific yang berbasis di Singapura berhasil diraihnya saat usianya memasuki 40 tahun. Dengan pos baru ini, Stephanus bertanggung jawab atas penjualan di berbagai negara seperti Hong Kong, Brunei, Filipina, Malaysia, dan Singapura.

Dua tahun berselang, Nissan memperluas bisnisnya dengan membuka kantor baru di Thailand. Alhasil, Grup Nissan Motor Asia Pacific hijrah dari Singapura ke Negeri Gajah Putih tersebut.

Tiba di Thailand, Stephanus dipercaya sebagai Vice President untuk planning division. Dua tahun berkiprah di Thailand, Stephanus berhasil mendapat tawaran yang lebih tinggi lagi, yakni belajar secara langsung di kantor pusat Nissan di Jepang karena dia dinilai telah menguasai permasalahan secara regional.

Tahun 2012, Stephanus berhasil menembus karier ke Negeri Sakura dengan jabatan sebagai General Manager untuk ASEAN Oceania.

Dua tahun berkarier di Jepang sudah cukup bagi Stephanus untuk meningkatkan kompetensi. Pada tahun 2014, dia kembali ke Indonesia dan didaulat menjadi bos di NMI. Kepulangan Stephanus ke Indonesia disambut antusias karena pada tahun tersebut, penjualan Nissan sudah mencapai 5.000 unit per bulan atau 25 kali lipat ketimbang saat masuk ke Nissan.

Meskipun perusahaan Jepang, tapi Stephanus menilai penunjukan dirinya sebagai pimpinan perusahaan Nissan Indonesia cukup tepat karena selain membutuhkan kontribusi dan pengalamannya, dia bilang, secara budaya Nissan Indonesia harus dipimpin orang Indonesia karena memahami secara demografis pasar Indonesia.

Kini hampir dua tahun, Stephanus berada di puncak karier, dia mengaku hal pertama yang dilakukan sebagai pimpinan perusahaan di Indonesia adalah memetakan masalah perusahaan.

Karena sudah terbentuk dengan budaya Jepang, dia mengaku bahwa Jepang dan Indonesia memiliki satu kesamaan, yakni sedikit diskusi sehingga sedikit menimbulkan debat.

Debat disebutnya berpotensi menjadi pertengkaran hebat jika tidak dikelola dengan baik. Sebagai seorang pimpinan, dia selalu fokus dengan masalah dan segera mencari solusi.

Hal itulah yang menjadi tantangan terbesarnya selama di Nissan Indonesia. "Tantangan kedua saat saya datang ke Indonesia adalah over stock. Stok banyak tapi tak ada yang beli, akhirnya kami perang diskon. Diskon tak terkendali, akhirnya rugi," ujarnya.

Akibat kerugian ini, perbaikan kualitas menjadi kurang diperhatikan perusahaan. Makanya, dia pun menyusun skala prioritas dan membuat rencana aksi dengan berbagai strategi.

Stephanus pun mensyukuri dengan pencapaian yang diraihnya saat ini. Menurutnya, keberhasilan yang diraihnya adalah berkat kerja keras dan juga kesempatan yang selalu diberikan Nissan kepadanya untuk terus belajar dan berprestasi hingga bisa ke luar negeri. "Kebijakan yang dibuat Nissan adalah siapa yang berpotensi dibuka kesempatan untuk bekerja di luar negeri. Tujuannya selain bisa bekerja, tapi juga menimba pengalaman," ungkap pria yang hobi menyelam ini.

Kesuksesan yang diraih Stephanus ini juga tak luput dari kesabarannya untuk merintis karier. Suka dan duka dalam melalui setiap tahap perjalanan karier menjadi pengalaman yang berharga.

Dia merasa kesempatan yang diberikan kepadanya untuk berkarier di Nissan tidak akan datang dua kali di masa mendatang sehingga harus dimaksimalkan.

Selain meraih karier yang bagus, Stephanus juga mengaku bangga bisa mengharumkan nama Indonesia di negara lain. Dia bilang, jarang orang Indonesia yang menjadi ekspatriat di negara lain meski dia menyebut kesempatan bekerja di luar negeri sama seperti dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) lainnya.

Dia pun berharap ke depan, Nissan bukan hanya sukses dari segi bisnis, tapi juga bisa jadi tempat yang baik buat anak muda Indonesia belajar dan berkembang. Dengan mendapat pelatihan dan ruang untuk berkarier lebih banyak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×