kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.942.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.490   100,00   0,61%
  • IDX 6.787   -120,00   -1,74%
  • KOMPAS100 980   -16,66   -1,67%
  • LQ45 754   -11,11   -1,45%
  • ISSI 221   -4,23   -1,88%
  • IDX30 391   -6,58   -1,66%
  • IDXHIDIV20 457   -9,06   -1,95%
  • IDX80 110   -1,76   -1,57%
  • IDXV30 113   -1,97   -1,71%
  • IDXQ30 126   -2,46   -1,91%

Cek Dampak Konflik Iran-Israel ke Industri Elektronik, Komponen Otomotif & Petrokimia


Senin, 23 Juni 2025 / 20:12 WIB
Cek Dampak Konflik Iran-Israel ke Industri Elektronik, Komponen Otomotif & Petrokimia
ILUSTRASI. Konflik yang makin panas antara Iran dan Israel diproyeksi akan berdampak pada industri elektronik, komponen otomotif dan petrokimia


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi militer Amerika Serikat (AS) yang ikut melancarkan serangan ke Iran memanaskan eskalasi geo-politik dunia. Iran pun berencana menutup Selat Hormuz yang bakal berdampak signifikan bagi rantai logistik perdagangan global.

Kelanjutan konflik Iran vs Israel memantik kekhawatiran bagi industri di Indonesia. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman mengungkapkan kondisi ini bisa menekan pelaku usaha di industri elektronik baik di hulu maupun hilir.

Perang Iran vs Israel mengganggu rantai pasok global. Jika berkepanjangan, kondisi ini akan berdampak terhadap biaya produksi di industri elektronik yang masih banyak memerlukan bahan baku dan komponen dari impor.

Daniel mencontohkan kategori produk rumah tangga (home appliances) yang porsi impor bahan baku atau komponennya sekitar 70%. Meski begitu, Daniel mengungkapkan impor bahan baku dan komponen tersebut sebagian besar berasal dari negara Asia seperti China, Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Malaysia.

Sedangkan porsi impor dari wilayah Timur Tengah terbilang mini, seperti impor biji plastik dari Arab Saudi. Selain terganggunya rantai pasok logistik dunia, pelaku industri mengkhawatirkan kenaikan harga komoditas termasuk minyak mentah, serta pelemahan ekonomi dunia.

Baca Juga: Tensi Geopolitik Meningkat, Begini Efeknya ke Pasar Keuangan Indonesia

"Konflik dan masalah geo-politik ini memiliki track record menurunkan permintaan global. Dampak langsung yang dirasakan saat ini adalah kenaikan harga minyak, ini pasti memicu kenaikan harga bahan baku," terang Daniel kepada Kontan.co.id, Senin (23/6).

Sedangkan di industri komponen otomotif, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) Rachmad Basuki mengungkapkan bahwa impor bahan baku dari Timur Tengah hanya di bawah 5%. Komoditas yang diimpor adalah bahan baku aluminium dan plastik.

Substitusi bahan tersebut masih bisa didapatkan di dalam negeri maupun impor dari negara lain seperti China, Korea Selatan dan Malaysia. Pelaku industri komponen otomotif mengantisipasi jika konflik ini berkepanjangan, maka lonjakan harga komoditas terutama harga minyak mentah bisa berdampak lebih luas.

"Sampai saat ini akibat perang tersebut belum berdampak dari segi harga maupun logistik. Mungkin jangka panjangnya akan menekan pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia, serta imbas dari kenaikan harga energi akan berakibat kemana-mana," kata Rachmad.

Konflik Iran vs Israel memang telah memantik lonjakan harga minyak mentah dunia. Merujuk TradingEconomics, hingga Senin (23/6) malam, harga minyak mentah acuan West Texas Intermediate (WTI) sudah melonjak ke level US$ 74,3 per barel. Sedangkan Brent mendaki ke posisi US$ 77,4 per barel.

Salah satu industri yang akan merasakan dampak signifikan dari lonjakan harga minyak adalah petrokimia. Meski begitu, Sekretaris Jenderal Indonesia Olefin, Aromatic and Plastic Industry Association (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan sejauh ini dampak dari perang Iran vs Israel belum sesignifikan yang dikhawatirkan.

Baca Juga: Konflik Israel–Iran Meningkat, LPEI Nilai Dampaknya Terbatas terhadap Kinerja Ekspor

Tapi, pelaku industri petrokimia tetap siaga jika konflik ini berkepanjangan. Harga minyak akan melonjak jauh lebih tinggi apabila konflik masih terjadi menjelang musim dingin. Sebab, saat musim dingin, kebutuhan minyak untuk industri akan berebut dengan kebutuhan untuk energi yang semakin tinggi.

Dampak yang lebih signifikan terhadap harga minyak maupun biaya logistik juga akan terasa jika Iran sudah menutup Selat Hormuz. "Sejauh ini dampaknya belum segawat yang kita khawatirkan. Mudah-mudahan ada titik temu untuk segera cooling down. Kalau tidak, harus waspada, karena kalau (harga minyak) lewat psikologis US$ 80, biasanya ke US$ 100 itu cepat banget," ujar Fajar.

Jika Selat Hormuz ditutup, maka logistik minyak dan bahan baku akan memutar untuk berlayar ke rute lain. Biaya angkut (freight cost) pun diestimasikan bisa terkerek naik dari US$ 60 menjadi US$ 100 per ton. Pada saat yang sama, pelaku industri petrokimia mesti mencari pasokan baru dengan mengandalkan China dan AS.

Fajar optimistis, pelaku industri petrokimia dan plastik akan bisa bertahan dalam situasi ini. Meski akan ada penyesuaian dari sisi harga maupun inovasi produk, terutama untuk kemasan di segmen barang konsumsi makanan dan minuman.

Catatan Fajar, pemerintah mesti bergerak cepat dan merumuskan kebijakan yang tepat dari sisi ekspor-impor produk, dengan memperhatikan supply-demand atau kebutuhan di dalam negeri. "Kami sudah pengalaman, pernah (harga minyak) sampai US$ 120. Tapi semua harus tinggi level kewaspadaannya, baik dari pelaku usaha maupun pemerintah," tegas Fajar.

Baca Juga: Kemenkeu Sebut Ruang Fiskal Masih Aman Redam Dampak Perang Iran-Israel

Daniel turut menyoroti kondisi pasar dan ekonomi di dalam negeri. Ketika ada kenaikan harga bahan baku dan biaya produksi, pelaku industri elektronik tidak bisa otomatis mengerek naik harga jual produknya. Sebab, pelaku usaha juga mesti mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat yang sedang tertekan.

Alhasil, situasi ini akan semakin memangkas margin pelaku usaha di industri elektronik. "Dalam kondisi pasar atau permintaan yang tidak baik saat ini, tidak mungkin menaikkan harga jual. Artinya produsen sementara waktu akan menyerap akibat kenaikan harga bahan baku tersebut," terang Daniel.

Industri komponen otomotif juga terimpit pelemahan daya beli di dalam negeri. Rachmad pun membeberkan strategi pelaku industri komponen otomotif untuk tetap adaptif adalah dengan memacu diversifikasi pasar ekspor.

"Kalau produksi dan market domestic terus turun karena daya beli turun, untuk memenuhi kapasitas pabrik yang ada kami berusaha ekspor. Kami coba perbanyak ekspor ke negara-negara non tradisional seperti Amerika Latin dan Afrika," tandas Rachmad.

Selanjutnya: Pertamina NRE dan Perusahaan Energi Asal China Garap Proyek Modul Panel Surya

Menarik Dibaca: Peserta Aksi Damai Kawal Seleksi Dewan Energi Nasional, Serukan 5 Tuntutan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×