Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penundaan kebijakan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, akan segera berakhir pada 9 Juli 2025. Jika dalam waktu dekat tidak tercapai kesepakatan dagang antara kedua negara, maka tarif impor terhadap produk-produk Indonesia berpotensi kembali diberlakukan mulai Agustus 2025.
Tak hanya itu, Trump juga mengancam akan menambahkan tarif impor sebesar 10% terhadap negara-negara anggota BRICS. Sebagaimana diketahui, Indonesia resmi bergabung dalam aliansi ekonomi tersebut, bersama negara-negara besar seperti China, Rusia, India, Brasil, dan Afrika Selatan.
Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai kebijakan ini tidak bisa dianggap remeh.
“Ada potensi ekonomi global akan melambat dan berdampak pada negara-negara koalisi, termasuk Indonesia. Pemerintah harus menjalin komunikasi dengan negara-negara yang bisa menjadi mitra dagang potensial agar kekuatan diplomasi Indonesia tidak lemah,” ujarnya kepada Kontan, Senin (7/7).
Baca Juga: Trump Marah Besar, Ini Ancamannya untuk Negara-Negara yang Merapat ke BRICS
Menurut Huda, perekonomian negara-negara BRICS terus menunjukkan perkembangan signifikan. Jika pada 1990 porsi ekonomi BRICS hanya 15,66%, maka pada 2022 sudah mencapai 32%. Meskipun ekonomi China diprediksi akan sedikit melambat, negara ini tetap menjadi pesaing utama AS.
“Keanggotaan Indonesia di BRICS sebetulnya punya keuntungan strategis. Kita bisa lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung pada pasar tradisional seperti AS dan Eropa. Apalagi Eropa juga sudah mulai sering berselisih dengan Indonesia, seperti terkait kebijakan EUDR pada komoditas sawit,” jelasnya.
Namun, dari sisi risiko, ancaman tarif tambahan dari AS tentu bisa menekan sektor ekspor Indonesia. Jika benar diberlakukan mulai Agustus 2025, besaran tarif bisa bervariasi tergantung produk, namun secara umum tarif resiprokal AS di masa lalu berkisar antara 10%–25% untuk produk manufaktur, tekstil, hingga alas kaki. Sektor-sektor padat karya seperti garmen dan elektronik menjadi yang paling rentan.
Baca Juga: Sri Mulyani Tanggapi Ancaman Trump Kenakan Tambahan Tarif AS 10% untuk Negara BRICS
Kebijakan ini bisa berdampak serius pada kinerja ekspor Indonesia ke AS dan memperlambat pertumbuhan produksi barang.
“Jika produksi melambat, ini akan berdampak ke penyerapan tenaga kerja. Bahkan bisa memicu PHK massal jika dibiarkan,” tambah Huda.
Menghadapi ancaman ini, pemerintah bersama pelaku usaha didorong untuk menyusun strategi antisipatif. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain memperluas pasar ekspor nontradisional, mempercepat perjanjian perdagangan bilateral baru, memperkuat daya saing industri dalam negeri, serta mendorong diplomasi aktif di forum internasional.
“Pemerintah harus punya langkah konkret untuk menghadapi risiko perang tarif ini. Apalagi kita sudah masuk BRICS, otomatis kita masuk radar utama perang dagang Trump,” pungkas Huda.
Baca Juga: Indonesia Tegaskan BRICS Tak Dimaksudkan untuk Melawan AS
Selanjutnya: Kredit Macet Fintech Naik, GandengTangan dan Amartha Perkuat Mitigasi Risiko
Menarik Dibaca: Elementbike Kantongi Lisensi Warner Bros, Siap Rilis Desain Superhero DC Comics
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News